44 | Tangisan Melody

311 52 0
                                    

Jadi orang gak enakan tuh nyebelin ya.

***

Cahaya rembulan dari balik jendela besar ini terus menjadi objek penglihatan gadis itu. Sorot pandangnya menerawang jauh. Entah sedang mengadu atau sekedar menikmati keindahan pemandangan malam. Tumpahan bintang turut andil pada bentangan luas cakrawala gulita.

Dahulu ia melakukan ini jika hatinya sudah benar-benar terluka sebab merindukan sosok wanita yang melahirkannya. Iri saat melihat semua teman-temannya bisa menghabiskan waktu dengan sang ibunda. Tapi apa yang bisa Melody lakukan jika Harry seringkali sibuk mengurus pekerjaan dan melupakan dirinya? Tidak ada, selain memendam semua luka itu seorang diri.

"Huh ...."

Kesekian kalinya muntahan gas CO2 itu dibuang dengan berat. Setengah jam berlalu, tapi Melody masih belum menemukan titik terang dari permasalahannya.

Erangan di arah belakang tak juga membuat gadis itu gentar. Ia terus menatap langit malam dengan harapan bulan atau bintang akan segera mengirimkan jawaban untuknya. Sama seperti dahulu.

"Ngapain lo?" suara serak itu keluar menginterogasi aktivitas Melody. Nayya mengubah posisinya menjadi setengah duduk dan bersandar pada sandaran ranjang lalu mengucek matanya untuk mengumpulkan nyawa.

"Bingung campur takut ...."

"Huh? Apa sih gak jelas banget!"

Bantahan itu membuat Melody kembali terdiam. Menatap sendu pada penguasa langit sambil setengah melamun. "Tolong ceritakan permasalahanku pada gadis itu, langit ... Aku lelah jika harus mengumbarnya hingga berkali-kali."

Sambil mengikat rambutnya asal-asalan, Nayya berjalan mendekati Melody dan segelintir perasaan berkecamuknya. "Ck. Sini ceritain masalah lo sama gue. Percuma, kata-kata puitis lo itu gak akan bantu nyelesain."

Nayya membuka jendela, membiarkan udara segar malam hari merasuki setiap inci ruangan kamarnya. Mereka menempelkan bokong pada kayu pembatas. Saling menatap selama beberapa detik, lalu di hitungan selanjutnya Melody kembali membuang napas panjang.

"Bimbang, Nay. Perkataan Timothy tadi siang bikin gue jadi merasa gak enak. Apa gue pulang aja, ya? Kasihan dia, takutnya belum tidur gara-gara lapar atau mikirin gue, ya kan?"

Penuturan Melody membuat Nayya memasang raut datar. Menyentil kening sahabatnya lalu kembali berdecak, "Ckck. Disaat kayak gini pun lo masih sempat-sempatnya mikirin Timothy si brengsek. Buat apa sih, Mel? Bisa gak kalau lo mementingkan kenyamanan diri sendiri dulu?!"

"Brengsek?" ulang Melody dan Nayya mengangguk. Gadis gila itu tersenyum tipis. "Asal lo tau, dia bukan kayak apa yang ada dipikiran kalian semua. Mami papi sering cerita sama gue, tentang seberapa sayangnya Timothy yang bahkan rela jadi tameng buat gue. Hiks ... Gue tau dia salah, tapi ... Hiks ... Cukup gue yang menghakimi dia, ... Lo semua gak usah ikut campur."

"Mel, kita kayak gini karena kita sayang sama lo. Gue sama Ficka terus mencoba merasakan seberapa pahitnya di posisi lo sekarang. Kita sahabat, Mel. Dan gue gak suka kalau salah satu sahabat gue dilecehkan kayak gini," bantah Nayya yang diakhiri dengan membuang wajah.

Kini Melody terlihat frustrasi. Jujur saja apa yang dituturkan Nayya memang tidak salah. Melody bahkan mengungkapkan rasa berterima kasihnya pada kedua gadis itu, dalam hati. Ia tertegun saking senangnya dapat berteman dengan mereka.

Namun mau bagaimanapun ceritanya, Timothy akan tetap dan selalu menjadi saudara kembarnya. Kadang-kala ada pepatah pamali bermusuhan dengan anggota keluarga. Dosa besar, karena dua-duanya akan masuk neraka.

My Brother My Boyfriend [ SELESAI ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang