5 🦋 Peramal atau Anak Peramal?

767 130 38
                                    

Pagi yang cerah. Seperti hari-hari biasanya, setelah mengemasi semua peralatan sekolah yang ia butuhkan, Vanesha mulai mempersiapkan dirinya dengan memoleskan pelembab di bibirnya dan sedikit bedak tabur untuk wajahnya, supaya ia terlihat segar untuk dipandang.

Setelah merasa siap dengan penampilan dan barang bawaannya. Ia memakai sepatu dan mengikatkan jam tangan di pergelangan tangannya. Lantas, ia meraih tas berwarna hitamnya dan turun ke bawah untuk sarapan bersama keluarganya.

Wajah yang tadinya di hiasi dengan sebuh senyuman manis. Namun, sekarang berubah menjadi datar saat kedua matanya melihat Kevan tersenyum kepadanya dari meja makan.

"Selamat pagi, Tuan Puteri." Sapa Lauren saat kedua bola matanya menangkap putrinya yang mulai mendudukan diri di kursi untuk sarapan bersama.

"Pagi." Balas Vanesha seadanya.

Lauren mengerutkan dahinya, "lho, ini anak Papa kenapa? Kok, begitu?" tanya Rehan saat dirinya mendapati ekspresi datar dari Vanesha.

"Nggak apa-apa, Pah." Balas Vanesha singkat.

"Nggak apa-apa, kok mukanya masam, begitu?"


Vanesha meghela napasnya pelan, rasanya ia malas sekali melihat muka Kevan pagi ini. Menyebalkan!

"Habis berantem sama pacar barunya kali, Pah." Celetuk Kevan dengan asal, membuat Vanesha memberikan tatapan elangnya kepada Kevan sambil menginjak kaki Kevan di bawah meja makan.

"Lho, Shasya udah punya pacar, ya? Kok, mama baru tahu, si."

"Iya, Papa juga baru tahu."

Vanesha menghela napasnya kasar, "Mama sama papa apaan, si. Shasya itu nggak punya pacar. Kakak aja yang sukanya ngarang!" ujar Vanesha seraya melemparkan buah anggur tepat di dahi Kevan.

"Eh, sudah. Kalian ini, berantem terus kerjaannya. Kevan, kamu juga udah besar. Nggak usah cari masalah." Tegur Lauren sambil mengambilkan nasi dan lauk untuk suami dan anak-anaknya.

Diam-diam Vanesha tersenyum senang, Lauren membelanya.

"Shasya juga nggak boleh iseng ataupun nakal, ya? Nurut apa kata Kakak, ya?"

Vanesha mendengus kesal, "Iya, Ma."

Sarapan yang seharusnya berjalan lima belas menit. Kini, terasa seperti sudah satu jam lebih. Setelah Vanesha meneguk susunya habis, ia meraih tasnya dan menyalami kedua orang tuanya, "Mama, papa, Vanesha berangkat dulu, ya? Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumusallam, Nak." Balas Lauren dan Rehan hampi serentak.

"Lho, Kevan. Sana berangkat, adik kamu udah jalan itu."

Kevan meneguk susunya dengan santai, "biarin aja, Ma. Nanti juga nungguin."

Rehan menggelenggkan kepalanya, "Udah sana berangkat. Kasihan adik kamu." Ujar Rehan membuat Kevan mau tidak mau harus beranjak pergi.

Kevan mulai menyalami kedua orang tuanya, "Kevan berangkat dulu. Assalamu'alaikum." Pamitnya lantas mengambil sepotong sandwitch di piringnya yang belum sempat ia habiskan, "Nggak boleh mubazir." Lirihnya kepada dirinya sendiri.

"Wa'alaikumusallam."

Rehan dan Lauren menggelengkan kepala mereka hampir bersamaan, senyuman tulus terukir di bibir mereka saat kedua mata mereka masih bisa melihat pertumbuhan dan pertengkaran kedua anaknya yang kelak pasti akan mereka rindukan.

Di tempat lain, Kevan dan Vanesha sudah berada di dalam mobil untuk menuju ke sekolah. Sudah bertahun-tahun mereka pergi dan bergurau bersama. Akan tetapi, pagi ini terasa begitu sunyi dan canggung di dalam mobil. Diantara keduanya, tidak ada yang berniat membuka percakapan dan berbicara bersama.

Hingga akhirnya, mereka sampai di parkiran sekolah. Namun, saat Vanesha membuka pintu mobil, pintunya terkunci. Ia tahu, Kevan pasti sengaja menguncinya.

Vanesha hanya diam tak berkutik, tidak ada sedikitpun niat dalam benaknya untuk meminta di bukakan pintunya kepada Kevan.

Kevan menghela napasnya kasar, ia menoleh ke arah Vanesha yang masih diam dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Dek, masih marah sama Kakak?" tanyanya.

"Dek?"

"Eh, maafin Kakak, lah. Masa gitu aja ngambek, si."

"Bukain pintunya, Kak atau aku nggak mau pulang ke rumah." Kevan menghela napasnya, lantas ia membuka kunci pintu mobil tersebut.

Tanpa berniat untuk berbicara lagi, Vanesha segera meninggalkan Kevan di dalam mobil dan pergi menuju ke dalam kelasnya. Dalam setiap langkahnya menuju ke dalam kelas, suasana koridor menjadi sangat gaduh akan bisik-bisik para siswa.

ALVEROSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang