Hari demi hari telah berlalu, tanpa ada yang memberitahu.
Sejak hari di mana operasi Vanesha berjalan dengan lancar. Keadaannya mulai membaik, luka di perutnya pun perlahan mengering dan sembuh. Bahkan lusa, ia sudah diperbolehkan untuk pulang.
Namun, bukannya mengkhawatirkan keadaannya sendiri, ia justru menghawatirkan keadaan ibunya yang sempat mengalami demam, karena merawatnya setiap hari, sepanjang waktu. Kasih sayang seorang ibu memang tidak ada batasnya, i love you, mom.
"Mah?"
"Iya, sayang? Ada apa? Mau diambilkan sesuatu?" ujar Lauren beruntutan, membuat Vanesha menerbitkan senyum tipisnya.
Vanesha menggelengkan kepalanya pelan, lalu kembali tersenyum, "Shasya mau mama pulang,"
"S-Shasya ngusir mama? Shasya nggak mau, kalau mama di sini?" lirih Lauren dengan raut wajahnya yang terlihat sedih.
Vanesha tertawa kecil sambil mengusap lembut tangan Lauren yang berada di sampingnya, "Bukan begitu mamaku sayang. Shasya minta mama pulang itu, karena mama masih demam. Shasya nggak mau mama sakit. Jadi, mama pulang aja, ya?"
"Mama nggak apa-apa, Shasya."
"Mah ... please. Shasya nggak mau mama sakit, Shasya nggak apa-apa, kok. Lagipula di sini masih ada Kakak, dan lusa Shasya juga pulang. Mama pulang, istirahat di rumah, ya?" pinta Vanesha memohon kepada Lauren.
Selang beberapa menit berpikir, akhirnya Lauren memutuskan untuk menuruti keinginan putrinya ini. Sejujurnya, ia memang merasa pusing dan tidak enak badan.
"Ya sudah, mama pulang. Meskipun lusa boleh pulang, obat tetap diminum, oke?"
"Iya, ma. Mama hati-hati di jalan, ya?"
"Oke, sayang. Mama pulang ya, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumusallam."
Setelah kepergian Lauren, ruangan kembali dengan kesunyian, karena dalam ruangan tersebut hanya ada dirinya seorang.
Kedua bola matanya beralih pada nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Tangannya terulur untuk mengambil benda pipih yang kerap di panggil ponsel.
Sejujurnya, ia tak berniat untuk menghubungi seseorang. Namun, jemarinya terus bergerak mencari-cari satu nama yang ada di dalam ponselnya.
Setelah menemukan nama itu, ia menekan tombol pesan di sana. Kosong, tidak ada riwayat pesan satupun darinya.
Ah, pasti dia lupa. Dia sendiri yang menghapusnya, waktu itu.
Aku yang memutuskan untuk menghapus semuanya. Tetapi, kenapa aku juga yang merindukannya terlebih dahulu. Bodoh!
Ia kembali meletakan ponselnya ke dalam nakas. Lantas, ia beralih mengambil sebuah buku kecil, itu buku hariannya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak mencatat perasaannya di dalam sana.
Perlahan, ia mulai meraih buku tersebut dan membuka halamannya satu persatu. Tanpa berniat untuk berhenti membaca, ia terus melanjutkannya. Hingga akhirnya, tepat di satu halaman, tangannya terhenti dan senyuman yang tadinya terbit di bibirnya sekarang luntur sudah dalam sekejap.
Jemarinya ia gunakan untuk mengusap lembut tulisan rapi di sana. Hatinya masih terasa sesak, jika mengingat kejadian itu, ia mulai memejamkan matanya dan mencoba untuk tersenyum, meresapi setiap kalimat yang tertulis dengan tinta hitam di atas kertas putih tersebut.
Menangislah, menangislah di dadaku sampai kamu lega dan tenang. Karena, aku adalah rumah persinggahanmu yang terakhir. Ingat, hanya aku rumah persinggahanmu yang terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVEROSA [END]
Teen FictionHAI-HAI! 🦋🦋🦋 SEBELUMNYA AKU MINTA MAAF SAMA KALIAN SEMUA, YA! MUNGKIN ADA BEBERAPA PART YANG NGGAK NYAMBUNG ATAU ANEH. KARENA, CERITA INI SEDANG MASA PERBAIKAN! DAN KARENA AKUNYA MALAS. JADI, MASA PERBAIKANNYA LAMA. wkwk. 🌞🌞🌞 Kisah ini tent...