18 🦋 Bubur

289 66 3
                                    

Kring! Kring!

Suara alarm yang terus berbunyi sama sekali tidak membuat Vanesha terusik sedikitpun. Ia justru semakin menyembunyikan badannya di balik selimut tebalnya. “Lima menit lagi,” gumamnya masih memejamkan matanya.

“VANESHA! SUDAH JAM BERAPA INI? AYO BANGUN! JANGAN TIDUR TERUS!” pekik Lauren dari lantai bawah, karena bukan hanya Vanesha yang teganggu dengan suara alarmnya yang sangat keras. Namun, semua orang di bawah pun ikut merasa terganggu.

Di detik itu juga, Vanesha terbangun karena terkejut dengan teiak Lauren beberapa detik yang lalu. Ia terbangun dengan keadaan yang sanat berantakan. Sambil memegangi dadanya yang bergemuruh, ia mulai meraih ponselnya untuk melihat jam.

Anjir, Telat!”

“SHASYA! KAMU LAGI NGAPAIN, SIH? BERISIK BANGET!” pekik Lauren kembali saat ia mendengar suara benda berjatuhan dari dalam kamar putrinya itu. Ia tidak tahu apa yang tengah putrinya itu perbuat.

Tanpa menghiraukan pekikan Lauren, Vanesha terus berlari ke sana-kemari untuk mengambil keperluan sekolahnya. Jika ia sampai telat datang ke sekolah, ia bisa kena hukuman lagi.

Dengan sisir yang masih terjerat diantara rambutnya. Ia berlari keluar dari kamarnya sambil mengendong tas hitamnya dan menjinjing buku dan dasi yang sengaja ia kalungkan di lehernya, karena ia belum sempat untuk memakai dasi.

“KAKAK, MAMA, VANESHA BERANGKAT SEKARANG!”

Tanpa berniat basa-basi terlalu lama, ia segera berlari ke pintu depan dan memakai sepatunya. Lauren dan Kevan yang melihat Vanesha dan segala tindakan Vanesha, mereka sempat melongo hingga akhirnya mereka tidak bisa menahannya untuk berubah menjadi sebuah tawa yang tergelak lepas.

Lain dengan Vanesha yang mengerutkan keningnya saat ia sudah sampai di depan pintu rumah. “Eh, kok, Kak Kevan masih duduk? Apa dia nggak berangkat?”

Vanesha menggelengkan kepalanya. Ia mencoba untuk tidak peduli, karena ia harus memepedulikan diriya sendiri yang sudah telat lebih dari lima belas menit.

Tepat disaat Vanesha berada di pintu luar, langkahnya terhenti. Maniknya menangkap langit yang mulai gelap dan matahari yang terlihat mulai terbenam. Ia mengerutkan keningnya. “Kok, ini ...”

“Lho, Non Vanesha mau ke mana? Ini mau malam, malah keluyura, Non.”

Vanesha semakin mengerutkan keningnya. Saat ini  ia benar-benar merasa bingung. “A-anu ... se-sekarang jam berapa, sih, Pak?” tanya Vanesha kepada Pak Soman yang kini berada di depannya.

“Sekarang jam enam, Non. Waktunya salat maghrib,”

“Ya, sudah. Pak Soman mau salat dulu ya, Non.”
Vanesha masih terdiam setelah kepergian Pak Soman. Ini sudah kesekian kalinya ia mengerjapkan matanya. Vanesha mengerang kesal saat otaknya sudah kembali bereaksi untuk berpikir cepat.

“MAMA, KAKAK! KENAPA NGGAK BILANG, KALAU INI ITU MALAM, BUKAN PAGI!” pekik Vanesha berjalan menuju ke arah Lauren dan Kevan di ruang televisi dengan langkah kaki yang sengaja ia hentak-hentakan dengan keras.

Lauren terkekeh kecil, ia ingat dengan jelas bagaimana ekspresi putrinya itu saat ia sedang panik seperti tadi. “Kan, kamu nggak tanya sama Mama,”

“Mampus!” ejek Kevan dengan raut wajah yang sama sekali tidak menyenangkan bagi Vanesha.
Lain dengan Vanesha yang mendengkus kesal dan berjalan kembali ke kamarnya sambil menghentakan kaki di setiap langkahnya.

Setelah melepas semua seragamnya, ia memeriksa ponselnya yang berada di meja belajarnya. Ia berniat memeriksanya.

Vanesha membulatkan kedua matanya sempurna saat mendapati ponselnya yang masih terhubung dengan kabel pengeras suara. Dan ia semakin melongo saat ia mendapati lima belas panggilan tak terjawab dan beberapa pesan yang belum ia buka.

Vanesha mengangguk-anggukan kepalanya. “Oh, jadi yang tadi itu bukan suara alarm, tetapi suara telepon ini,” gumamnya seraya mendengkus kesal. Ia benar-benar dibodohi oleh tingkah cerobohnya sendiri.

Vanesha mengerutkan keningnya saat maniknya menatap pesan spam dari Vero. Lantas, ia mendengkus kesal, kenapa dia mengiriminya pesan sebanyak ini dan terus menelponnya? Apakah dia tidak punya kerjaan lainnya?

“Vanesha, sayang yang.”

“Woy! Gimana kabar lo? Udah baik? Tadi buburnya habis di makan, kan? Enak, kan? Ya, iya lah. Babang Vero gitu!”

Vanesha kembali menautkan kedua alisnya. Ia tekejut setelah membaca pesan dari Vero. Ia mengira Kak Ghaksa lah yang memberikan bubur itu kepadanya. Ternyata, itu Vero.

Vanesha berdehem pelan. Jadi, sekarang ia harus mengucapkan terimakasih kepada lelaki itu? Vanesha menghembuskan napasnya kasar. Kenapa ia jadi gugup seperti ini? Kenapa jantungnya kian berdetak sangat cepat?
Mau tidak mau, Vanesha mulai mengetikan sesuatu pada ponselnya.

“Aku baik, kok. Btw, Makasih.”

🌞🌞🌞

Siapa yang masih suka dispam chat sama doi?
Sama! Aku juga nggak pernah, hihi.

Ayo, siapkan jari kalian untuk spam Po aja.
Spam emot yang mewakili perasaan kalian atau SPAM nama kalian

Biar aku ingat terus, wkwk.

Follow akun wattpad ini
Follow juga akun instagram
@popykhalimah_

Jangan lupa buat vote comment
Share juga cerita ini ke teman-teman kalian, biar mereka baca juga.

Papayy
Luv all

🌞
♥️♥️♥️
⭐⭐⭐⭐⭐

ALVEROSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang