23 🦋 Aira

147 19 1
                                    

Sore yang cerah untuk pergi jalan-jalan ke taman. Namun, Vanesha tidak akan pergi ke taman atau jalan-jalan untuk menikmati waktu sore.

Hari ini, ia akan pergi untuk menyelesaikan semuanya. Ia sadar, ia terlalu menutup pintu maaf dan tidak pernah melihat ke belakang dengan mata yang terbuka, karena ia selalu lari saat bayangan masa lalunya datang mencarinya. Ia selalu gagal untuk membuka matanya dan melawan masa kelam itu.

Tetapi, semua itu tidak akan terjadi lagi pada dirinya. Mulai sekarang, ia tidak akan takut jika bayangan itu kembali mencarinya, ia akan melawan dengan kedua mata yang ia buka dengan lebar. Karena sekarang, ia memiliki seseorang yang akan selalu ada di sisinya dan menemaninya untuk melawan semua ketakutan pada dirinya.

Alvero. Ya, lelaki itu benar-benar berhasil menumbuhkan benih keinginan untuk bangkit dalam hidup Vanesha. Lelaki menyebalkan dan tidak punya sopan santun itu selalu memberikan support dan berbagi pikiran positif kepadanya.

Vanesha sangat senang akan sikap Vero akhir-akhir ini. Lelaki itu membawanya keluar dari lubang hitam yang sangat dalam, walaupun belum sepenuhnya keluar, setidaknya ia sudah bisa merasakan udara segar di luar lubang hitam. Udara segar itu menariknya untuk semakin keluar dan bebas dari gelapnya lubang itu.

Vanesha menghembuskan napasnya berat, ia menunduk menatap buket bunga yang ada di tangan kirinya. Lain dengan tangan kanannya yang tengah digengggam erat oleh tangan kekar Vero. “Kamu siap?”

Vanesha menoleh menatap Vero yang tengah tersenyum kepadanya. Ia mengangguk kecil dan membalas senyum Vero. Sejujurnya, masih ada rasa gugup dan takut didalam dirinya, namun ia teringat nasihat Vero saat mereka berada di rooftop beberapa hari yang lalu.

Ting!

Vanesha segera meraih ponsel yang berada di saku seragamnya dengan pelan. Ia tidak mau sampai membangunkan lelaki yang tengah bersandar di pundaknya sambil memejamkan matanya.

Ia mencengkram rok sekolahnya dengan kuat. Ketakutan itu mulai kembali menyelimuti dirinya,  ia kembali dengan Vanesha yang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

“Jangan biarkan rasa takut itu menguasi dirimu!”

Vanesha menoleh ke arah Vero yang tak lagi menyandarkan kepala di pundaknya. “Aku harus apa?” tanya Vanesha sambil menyodorkan ponselnya ke Vero.

Vero tersenyum tipis. Sebenarnya, saat Vanesha mendapat pesan dan sedang membacanya, Vero terbangun dan ikut membaca pesan tersebut.

“Vanesha, apa kabarmu? Ada banyak hal yang ingin aku katakan. Dan aku sadar, aku tidak akan pernah bisa mengatakan semuanya. Tapi, ada satu hal yang harus kita selesaikan, itu jika kamu masih mau bertemu denganku.”

Vanesha menaikan sebelah alisnya meminta pendapat dari Vero. “Kalau begitu, temui dia!” Vanesha menghembuskan napasnya berat, ia menunduk. Kenapa Vero semudah itu memutuskannya, apakah dia tidak tahu perasaannya?

“Aku temenin.”

Vanesha tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang terukir apik di bibirnya. setelah meyakinkan dirinya sendiri, Vanesha mengetikan sesuatu di ponselnya.

“Makam dekat sekolah.”

Vanesha kembali menarik napas pelan dan membuangnya dengan perlahan. Ia berharap dirinya bisa menahan diri dan ia bisa mengikhlaskan semuanya di tempat ini, seperti beberapa tahun yang lalu di saat ia mengikhlaskan sahabat kecilnya untuk pulang ke dalam pangkuan Tuhan.

Vanesha meletakan buket bunga yang sempat ia beli di atas gundukan tanah. “Hai, lama tidak bertemu.” Lirih Vanesha sambil berjongkok mengusap nisan itu.

ALVEROSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang