21 🦋 PTSD

165 17 2
                                    

“Shasya, buka mata kamu, Nak!”

“Tante, saya pam--”

“Kamu sudah sadar, Nak?”

Manik Vanesha perlahan terbuka. Ia menyipitkan kedua bola matanya dan menatap Lauren yang tengah mengusap lembut rambutnya dengan mata yang berbinar. Vanesha mengerutkan keningnya saat penglihatannya menatap Vero begitu jelas. Ia heran, bagaimana bisa Vero ada di kamarnya? Ia mencoba mengingat kejadian sebelumnya.

Vanesha tersenyum sangat tipis saat ia menyadari, bahwa ia tertidur sekaligus pingsan di dalam mobil Vero. Ia ingat dengan jelas bagaimana ekspresi khawatir dan bingung dari seorang Vero yang terkenal acuh. Sejujurnya, ia ingin tertawa sekarang, tetapi tubuhnya belum bisa menuruti kemauannya. Ia masih sangat lemas.

Vanesha meneguk ludahnya kasar saat sosok pria itu melintas kembali di dalam otaknya. Ia mencekal lengan Lauren dengan erat dan menatapnya begitu lekat. “Ma-mama ... di-dia ... dia kembali, Mah!” lirihnya dengan suara yang terdengar sangat parau dan lemah.

Lauren tidak mengerti apa yang tengah Vanesha bicarakan, namun ia memahami siapa yang berhasil membuat Vanesha kembali seperti ini. Lauren menganggukan kepalanya pelan seraya menerbitkan senyum tipisnya, “dia sudah pergi, Nak. Pergi jauh, sangat jauh. Dia tidak mungkin kembali, jadi kamu nggak peru khawatir, ya.”

Vanesha mencekal tangan Lauren yang tengah mengusap kepalanya, ia menggeleng cepat, “bu-bukan dia, Mah. Ta-tapi ... a-adiknya,” ucapnya masih ketakutan. Lauren menautkan alisnya, ia benar-benar tidak mengerti dengan perkataan putrinya itu.

Kevan yang berjalan mendekati adik kesayangannya. Hatinya terasa sesak mendapati adiknya kembali seperti ini. Ia pernah bersumpah akan membunuh orang yang sudah membuat adiknya seperti ini, tetapi Tuhan berkata lain, Tuhan lebih dulu memanggilnya dan memberi hukuman kepada manusia tidak berakhlak itu.

“Shasya, dengar kakak! Kakak akan cari dia sampai ketemu, tetapi kamu nggak boleh sepeti ini, oke? Kamu harus bangkit dan lawan semuanya!” ucap Kevan menggenggam tangan Vanesha yang masih sedikit bergetar. Vanesha terus menatap dan menyimak semua nasihat Kevan, hingga ia mulai merasa sedikit tenang.

Lain dengan Vero yang mulai melangkahkan kakinya keluar dari kamar tersebut. Akan lebih baik, jika ia tidak ikut campur dalam urusan keluarga itu. Tapi sejujurnya, ia tidak mengerti dengan kejadian yang ada di depan matanya itu, ia sangat bingung. Hatinya merasa sesak melihat Vanesha menangis ketakutan seperti tadi. Ingin sekali ia memeluk Vanesha, tetapi ia harus tahu batasan, ia bukanlah siapa-siapa dari Vanesha.

“Nak Vero, tunggu!”

Vero membalikan badannya. Ternyata, Lauren mengikutinya dari belakang sampai ia berada di ruang tamu. “Ada apa, Tante?”

Lauren berjalan ke salah satu sofa dan duduk, “sini, duduk dulu, Nak!”

Vero mendekati Lauren dan duduk di sebelahnya dengan sopan. “Kenapa, Tan?” tanyanya kembali.

Lauren tersenyum tipis dan menghembuskan napasnya berat. “PTSD!” ucap Lauren sangat singkat. Vero mengerutkan keningnya, ia semakin dibuat bingung oleh wanita baruh baya ini.

Post traumatic stress disorder, Vanesha pernah memiliki riwayat penyakit itu, dulu. Lambat laun, penyakit itu dinyatakan sembuh oleh dokter, karena Vanesha rutin terapi dan selalu minum obat SSRI, obat menghilangkan gejala depresi dan rasa cemas. Waktu itu, tante senang sekali mendengarnya,” ucap Lauren mulai bercerita, ia mengukir senyum simpul di bibirnya sambil menatap lurus ke depan.

Lauren beralih menatap Vero dan melenyapkan senyumnya dalam sekejap. “Dan sekarang, tante sadar, bahwa penyakit seperti itu tidak akan sembuh total jika Vanesha sendiri tidak bisa menerima kenyataan dan selalu bersembunyi dari semua hal yang pernah dan akan ia lalui. Ia selalu takut dan menghindari semua hal yang berkaitan dengan masa lalunya itu.”

ALVEROSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang