24 🦋 Damai

302 69 10
                                    

Terkadang, cinta bukan hanya tentang perasaan pasangan. Namun, bisa juga tentang belajar merelakan dan melepaskan.

🌞🌞🌞

Selama satu minggu ini Vanesha dan Vero semakin dekat di lingkungan sekolah atau pun di luar sekolah. Vero merasa senang gadis itu kembali ceria seperti biasanya, dia kembali bersinar setelah badai yang menenggelamkannya dan kini tidak ada lagi ketakutan dan obat penghilang cemas dalam hidup gadis itu.

Sudah banyak hal yang mereka lalui akhir pekan ini, seperti makan nasi goreng seafood, pergi ke perpustakaan, nonton ke bioskop, menemani Vanesha belanja, jalan-jalan keliling kota dan kini, mereka menikmati ice cream bersama di taman.

Vero merasa sangat senang dan bersyukur, usahanya membuat Vanesha bangkit kembali bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi ia berhasil.

“Vero, ayo pulang! Kayaknya mau hujan,”
Vero masih duduk santai si kursinya, sesekali menjilat ice cream yang berada di tangan kanannya. “Gue masih mau di sini.”

Vanesha mendengkus dan kembali duduk di samping Vero dengan rasa kesal di benaknya. Lelaki itu selalu saja mengharuskan semua keinginannya tanpa memedulikan keinginan orang lain.

Vanesha tersentak saat ponselnya berdering di dalam saku celananya, ia segera mengeluarkannya dan berjalan menjauhi Vero untuk menerima telepon.

“Hallo, assalamu’alaikum Vanesha,” sapa seorang wanita dari balik teleponnya.

Vanesha tersenyum simpul. Sejujurnya, ia sempat terkesiap begitu mendapati Tante Intan meneleponnya, dia adalah ibu dari sahabatnya yang sudah meninggal, Aira. Ia jadi rindu akan wanita yang meneleponnya ini, sudah lama sekali ia tidak bertemu wanita paruh baya ini.

Wa’alaikumusalam, tante. Tante apa kabarnya? Aku kangen banget sama tante, udah lama nggak ketemu.”

“Tante juga kangen kamu, Nak. Oh, iya, tante baik, kok. Kamu di sana baik, kan?”

Vanesha tersenyum sambil menganggukan kepalanya pelan. “Tante ada apa telepon Vanesha? Apa ada keperluan sama Mama?”

Vanesha bisa mendengar kekehan Tante Intan dari seberang sana. “Nggak, Nak. Tante cuma mau memastikan satu hal aja, tentang ... Aira.”

Vanesha meneguk ludahnya kasar. Ia merasakan seolah darahnya mengalir begitu deras, ditambah lagi detak jantungnya yang berdetak begitu cepat dari biasanya. “Me-memangnya ada apa, Tan?” ucapnya sangat gugup.

“Kamu masih ingat lelaki yang sudah merusak hidup anak tante, kan?”

“Ma-masih, Tan.”

Vanesha menggigit bibir bawahnya ketika ia mendengar Tante Intan menghembuskan napasnya dengan berat. “Tante baru tahu, lelaki itu sudah meninggal. Dan kamu tahu? Adik dan ibu dari lelaki itu datang ke rumah tante untuk minta maaf. Tante nggak nyangka, kalau mereka tidak tahu masalah ini sama sekali.”

Vanesha tercenung, ia tidak menyangka Ghaksa melakukan itu, tetapi ia juga merasa senang mendengarnya, itu artinya Ghaksa sadar akan kesalahannya dan kesalahan kakaknya. Ia senang karena ia meminta maaf demi kakaknya yang sudah tiada.

“La-lalu, Tante gimana?”

“Awalnya tante masih marah, tetapi saat mereka mengatakan kalau lelaki itu meninggal dan mereka sangat menyesal akan perbuatan anaknya, tante nggak tega, tante maafin mereka tanpa melibatkan polisi.”

ALVEROSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang