17 🦋 Dynamite

381 69 4
                                    

“Shasya, kamu pulang sama siapa?”

“Belum tau. Mungkin taksi.”

Setelah bel pulang sekolah berbunyi menggema setiap sudut sekolah. Semua siswa mulai berhamburan meninggalkan sekolah satu per satu. Begitu juga dengan Vanesha, Alisya dan Alitta yang tengah berjalan menyusuri koridor kelas untuk keluar dari gedung sekolah itu.

“Lho, kamu nggak sama Kak Kevan?” Alita mengerutkan keningnya heran, karena jarang sekali ia mendapati Vanesha pulang sendirian tanpa Kevan.

Vanesha menghembuskan napasnya pelan. Meski ia menghabiskan waktu belajarnya untuk tidur di dalam ruang kesehatan, tetapi ia masih merasa pusing. “Katanya kakak masih ada latihan ujian,”

“Tapi, kamu masih sakit, kan? Mau pulang bareng kita?” tawar Alitta seraya menempelkan punggung tangannya tepat di dahi Vanesha. Lain dengan Alisya yang terkekeh pelan seraya mengibaskan rambutnya.

“Ya, itu kalau kamu mau di katain cabe-cabean.”

Vanesha berdecih pelan, “Setiap orang yang bareng kamu memang dikira cabe-cabean, kali.” Alisya mendengus kesal. Ia berniat untuk menggoda Vanesha, tetapi selalu saja ia yang kena imbasnya.

Alitta menggeleng pelan melihat kedua sahabatnya yang saling melempar ejekan. “Udah, ayo pulang! Shasya kamu beneran nggak apa-apa naik taksi sendirian?”

Vanesha menghentikan tawanya dan mengusap pundak Alitta dengan lembut. “Aku nggak apa-apa, kok.”

Alisya dan Alitta mengangguk, keduanya mulai melangkahkan kakinya mendahului Vanesha yang tengah melambaikan tangannya dengan senyum simpul di bibirnya.

“Hati-hati!”

Kini hanya tinggal Vanesha seorang diri. Ia mulai melangkahkan kakinya menyusuri koridor yang mulai tampak sepi untuk menuju ke halte. Ia berniat untuk mencari taksi atau kendaraan apapun yang bisa ia naiki.

Vanesha mulai memainkan jarinya di layar ponselnya sambil menunggu taksi lewat. Namun, belum lama ia memainkannya, tiba-tiba saja ponselnya mati. Ia tidak sadar, bahwa baterai ponselnya melemah. “Ih, pake mati lagi! Mana taksi nggak ada yang lewat!”

“Vanesha!”

Vanesha menoleh ke sumber suara dengan wajah tanpa ekspresinya. Dari kejauhan tampak jelas seorang lelaki berlari ke arahnya dengan tangan yang dilambaikan kepadanya.

Matanya menyipit untuk meyakinkan diri, bahwa lelaki tersebut adalah .... “Kak Ghaksa?”

“Kamu pulang naik apa?” tanya Ghaksa to the point saat ia sudah berada di depan Vanesha.

“Taksi, Kak.”

Ghaksa menerbitkan senyum tipisnya, “Kalau begitu, pulang bareng aku aja. Kamu lagi sakit, kan?”

Vanesha diam bergemih, ia ingin sekali menerima tawaran lelaki itu. Namun, ia merasa tidak enak, karena mereka tidak begitu akrab untuk pulang bersama. “Eh, nggak usah, Kak.”

Ghaksa menghembuskan napasnya pelan, lantas ia melepas jaketnya dan memakaikannya di tubuh Vanesha. “Aku nggak pernah menerima penolakan. Lagipula, kamu itu sakit. Sebagai seorang ketua PMR, aku harus jagain kamu.” Vanesha menunduk. Entah mengapa, ucapan Ghaksa barusan mampu membuat pipinya memanas.

“Ya sudah, ayo!” Ghaksa mencekal lengan Vanesha dan menariknya menuju ke palkiran untuk mengambil motornya. Lain dengan Vanesha yang tengah memegang dadanya yang bergemuruh. Sore ini, detak jantungnya memompa begitu cepat dan kencang. Ia tidak tahu, kenapa jantungnya mudah sekali merasakan hal seperti ini?


🌞🌞🌞


“Akhirnya ... aku bisa tiduran di kasur yang tiada tara ini,”

Vanesha melemparkan badannya ke ranjang king size yang berada di kamarnya. Ia baru tahu, bahwa sehat jasmani dan rohani itu suatu hal yang sangat berharga. Mulai sekarang, ia akan menjaga kesehatannya dengan baik.

Senyum tipis terbit di dalam bibirnya, ia ingat dengan jelas bagaimana perhatiannya Ghaksa kepadanya. “Oh, iya. Bubur yang tadi ... oh, dari Kak Ghaksa, kali, ya.”

Ia kembali melebarkan senyumnya. Pipinya menjadi merah merona saat ia mengingat betapa perhatiannya seorang ketua PMR itu kepadanya. Benar-benar manis!

“Tapi, Kak Ghaksa udah punya pacar atau belum, ya?” gumam Vanesha pelan.

Vanesha membulatkan kedua matanya, lalu ia menepuk dahinya sendiri. “Astaga. Shasya! kamu udah gila, ya? Jangan mikir begitu!” ucapnya seraya menggelengkan kepalanya cepat.

Vanesha tidak mau masa depannya rusak, karena seorang lelaki. Peristiwa tahun itu sudah membuat dirinya berjanji untuk tidak menjalin hubungan dengan lelaki sampai ia benar-benar menemukan lelaki yang bisa menghargai seorang wanita dan menjaganya. Vanesha menggelengkan kepalanya. Pikirannya akan gila dengan kasus seperti ini.

“Oh, iya. Hari ini aku nggak ke kantin, nggak makan cilor, nggak makan mie ayam, nggak makan seblak ...” Vanesha menghela napasnya pelan. “Nggak apa-apa, deh. Pokoknya, besok aku mau beli semuanya.”

Vanesha tersenyum riang untuk menghibur dirinya sendiri. Sepertinya, Vanesha lupa akan satu pikiran bijaknya yang sebelumnya ia katakan. Katanya, ia akan menjaga kesehatannya dan hidup tanpa kata sakit. Namun, belum ada setengah hari pun, ia sudah memikirkan makanan tidak sehat seperti itu.

ALVEROSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang