13. HOSPITAL

93 6 0
                                    

Dua orang berbeda usia sangat jauh berlari tergopoh menelusuri setiap koridor sebuang gedung bercat putih. Ditemani dengan derai air mata yang setiap kali turun dari persembunyiannya, membasahi kedua pipi yang sama sekali tidak tersentuh alat kecantikan.

Lena mati-matian berusaha menghapus air matanya agar tidak meluruh, ia mencoba tetap tegar. Walau kenyataannya ia kini sedang rapuh. Orang yang disayanginya sejak kecil terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Di sampingnya berdiri wanita yang telah menjaga dan merawatnya sejak dini tengah berlari terpontang-panting mencari ruang rawat Aren, yang sialnya Lena tidak berfikir jernih untuk menanyakan ke resepsionis, tadi.

Ditambah kepalanya mulai berdenyut dan pandangan Lena mulai mengkabur. Lena menggelengkan kepala berusaha menghalau agar pandangannya pada koridor rumah sakit tidak berputar dan menimbulkan dua bentuk yang abstrak, ia harus kuat menahan tubuhnya agar tidak limbung. Lena tidak mau membuat Mamanya kewalahan dengan posisi dia pingsan dan Papanya terbaring di sini.

"Berhenti dulu Ma," Lena menahan pergelangan tangan Dira, ia menumpu ke dua tangannya di lutut, membungkuk guna meredakan pusing yang semakin menjalar di kepalanya.

"Kenapa Lena?" tanya Dira parau, ia ingin segera melihat keadaan suaminya sekarang.

Lena berusaha mengatur nafasnya yang mulai tersengal tidak teratur, ia berdiri tegak menghadap Mamanya, "Lena coba tanya ke resepsionis, Mama tunggu disini aja," Lena memapah tubuh Dira menuju kursi di sampingnya.

Dira menurut saja, ia benar-benar ingin melihat keadaan suaminya, "Cepet ya Len," pintanya memohon pada anak gadisnya.

Lena tersenyum menenagkan Mamanya, ia mengangguk, dan segera berbalik badan.
Berlari kembali menuju gedung lantai satu dimana tempat resepsionis berada.

Semakin Lena berlari semakin sakit merambat kepalanya, gadis itu mencoba bertahan dengan sesekali berhenti dan mengatur nafasnya. Lena lagi-lagi tidak berfikir dahulu, jelas-jelas banyak sekali lift yang sudah ia lalui untuk cepat menuju lantai dasar namun ia hiraukan. Lena memilih berlari menuruni anak tangga dari lantai tiga. Pikirannya sedang kalut.

***

Lena dan Mamanya berlari menuju ruang Blue 28 dimana Aren terbaring lemah di sana.

Dengan jarak lima ruangan di sampingnya, Lena dapat melihat siluet laki-laki, sedang duduk di kursi tunggu, ruangan Papanya.

Semakin mengikis jarak, Lena berusaha menebak siapa laki-laki itu, atau pria itu adalah orang yang sudah menabrak Papanya?

Lena semakin mendekat, orang yang semula menghadap lurus kedepan bertumpu dengan ke dua tangannya, kini menoleh karena mendengar langkah kaki mendekat.

Lena melotot dibuatnya, "Gibran?"

Gibran juga ikut terkejut, tapi ia segera kembali ke wajah datarnya.

"Ngapain lo disini?" cerca Lena. Di otaknya sudah bersarang pikiran negatif.

"Atau, Lo...?" Lena menggantung ucapannya.

"Gue yang bawa bokap lo," ujar Gibran cepat, ia tau kemana arah pembicaraan gadis di depannya.

Entah kenapa Lena merasa lega.

Gibran mengalihkan pandangannya pada wanita paruh baya di samping teman kelasnya. Ia berjalan mendekat, ingin bersalaman.

Tapi belum langkah kedua ia lakukan, wanita itu menoleh dengan cepat, matanya memerah karena menangis.

Dira mendekat, secepat kilat beliau memukul pundak Gibran brutal dengan mulut yang terus menyalahkan pemuda di depannya, "Kamu kan yang sudah nabrak suami saya?! tanggung jawab!"

Lena yang sudah mendudukkan pantatnya di kursi yang sebelumnya Gibran duduki, kini mulau mendekat. Mencegah Mamanya agar tidak semakin melukai orang yang tidak bersalah, "Udah Ma, bukan Gibran. Dia teman Lena yang udah bawa Papa kesini," ucap Lena, menarik Mamanya untuk duduk di kursi tunggu.

Untungnya Dira menurut, wanita baruh baya itu menatap kosong tanaman hijau di depannya, dengan nafas yang masih naik-turun.

Hening menyelimuti ketiga orang yang duduk melamun, berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Sampai suara bariton yang membuat mata Lena terbelalak.

"Saya akan tanggung jawab tante," ucap Gibran yakin, ia sudah memikirkannya matang-matang.

"Gib, lo nggak salah. Justru kita yang seharusnya berterimakasih sama lo," ujar Lena. Ia tidak percaya Gibran akan melakukan tindakan ini.

"Nggak papa Len."

"Enggak." Lena bersikeras.

"Biar Mama lo nggak nuduh gue," utaran kalimat dari mulut ketua kelasnya, membuat Lena menoleh dengan alis terangkat sebelah.

"Biar Mama lo pecaya kalau gue nggak salah," ia menghela nafas. "Udah nggak papa. Atau gue tanggung setengahnya biaya rumah sakit?" tawar Gibran.

"Terserah lo," Lena pasrah, percuma ia berdebat dengan ketua kelasnya, ujung-ujungnya ia akan kalah.

Gibran tersenyum kecil sangat kecil. Hampir tidak bisa dilihat jika tidak teliti.

***

Ceklek!

Atensi tiga orang yang duduk di ruang tunggu dengan satu laki-laki di sebrang menoleh, menatap pria berjas putih yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan.

Dira segera bangkit, menodong pertanyaan yang sering dikeluarkan oleh kebanyakan orang yang menunggu di rumah sakit setelah pemeriksaan selesai, "Gimana keadaan suami saya Dok?" sambar Dira setelah dokter berkacamata itu menutup kembali pintu ruang pemeriksaan Aren.

Dokter dengan badge Rezky itu menghembuskan nafas berat, "Pasien belum sadar, banyak pendarahan di kepalanya akibat benturan yang keras. Dan harus segera dioperasi," ucap dokter Rezky tegas dengan kalimat terakhir yang dilirihkan.

Luruh sudah air mata Lena yang sedari tadi terus ia tahan. Lena tidak bisa berkata-kata, mulutnya seakan terkunci oleh gembok raksasa. Tenggorokkannya tercekat seperti ada tali yang mengikat. Usapan lembut di bahunya ia dapat dari lelaki yang ikut menunggu. Tanpa sadar Lena langsung memeluk tubuh pria itu guna mengecilkan suara isak tangisnya.

Dira terjongkok di depan dokter Rezky, tak kuat menahan berat badan tubuhnya. Beliau menutup wajah dengan telapak tangannya. Dira bahkan tidak mengeluarkan suara saat menangis, tapi jujur hatinya sakit bagai tertancap seribu jarum. Kalau boleh memilih, beliau lebih baik menangis dengan kencang, meluapkan sakit di hatinya daripada rasa sakit itu harus tertahan di hati, enggan untuk keluar.

Gibran mengusap pelan punggung Lena, ia terus membisikan kata-kata penenang di samping telinganya, berharap gadis itu bisa tenang dan bergerak cepat untuk menyelamatkan Papanya.

Mengetahui situasi seperti ini, dokter Rezky berusaha untuk sabar. Ia sering menjumpai keluarga pasien yang membutuhkan waktu untuk menenagkan diri. Setelah itu ia akan melontarkan kalimat demi kalimat, tindakan apa saja yang harus dilakukan keluarga pasien.

Dira mengusap air matanya dengan kasar, beliau bangkit berdiri. Menghadap dokter yang sudah menyambutnya dengan senyuman. Dira tak membalas, beliau akan segera menanyakan apa yang harus dirinya lakuakan, secepatnya.

"Te-terus saya harus gimana dok?" tanyanya lirih, isak tangis masih menyertai ucapannya.

Dokter Rezky tersenyum, tapi wajahnya menampilkan keseriusan, "Ibu tenang saja," Dokter tampan itu kembali menarik sudut bibirnya, tersenyum lebih panjang, "Pasien membutuhkan donor darah golongan AB, dan alhamdulillah rumah sakit ini masih ada stock. Dan semoga saja cukup," ujar Dokter berumur sekitar 30-an itu dengan gaya santainya.

Dira menghela nafas lega, ia berterimakasih pada dokter itu, lalu menyuruhnya segera melakukan operasi. Untuk biaya untungnya dia masih punya.

***

Follow Istagram:
@moozye28
@aillena._

AILLENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang