23. AKTING

75 3 0
                                    

Cewek berambut bergelombang dengan warna merah di ujungnya tengah menatap tajam ke arah koridor depan kelas X IPA 1.
Berkali-kali ia menggeram marah, kenapa perempuan itu tak mengindahakan ucapannya kemarin?

Dug!

Ia memukul dinding koridor di sampingnya, mungkin dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya.

"Heh cupu, sini lo!" panggilnya pada siswi dengan pakaian rapi, ditambah kaca mata bulatnya.

"Kamu, panggil saya?" responnya, sembari menunjuk dirinya sendiri, memastikan.

"Iya, sini!" suruh cewek itu lagi.

Sambil membenarkan kaca matanya yang sempat merosot sedikit, siswi tertib dan rapi itu melangkah mendekati rambut ujung merah.

"Kenapa ya?" tanyanya sopan.

"Nggak usah sok ramah dan baik deh, gue tau asli lo. Di sini, lo nggak usah pura-pura, basi!" kata cewek itu muak.

Sempat terkejut, tapi tak urung mengeluarkan senyum sinis andalannya, "Ohh, jadi gue di depan lo nggak bisa akting dong. Payah!" ucapnya sembari melepas kaca mata bulat dengan gaya angkuh khasnya.

Cewek di depannya tersenyum remeh, "Gue juga tau, lo butuh dan ingin apa," tebaknya misterius.

"Maksudnya?"

Cewek dengan baju ketat itu mendekat, membisikkan beberapa kalimat yang didengar dengan seksama oleh siswi satu kelasnya.

Setelah puas dengan tujuannya, cewek melanggar aturan sekolah itu tersenyum licik. Dibalas menyeringai oleh siswi berbola mata hitam pekat, softlens.

***

"Gimana ujian kali ini, bisa masuk lima besar nggak?" tanya Erland meremehkan.

Lena tersenyum miring, "Liat aja nanti. Btw thanks ya, udah mau bantuin gue belajar." tulus Lena.

"Iya, sans aja."

"Ehh, gue heran deh Er. Menurut gue lo sama gue itu pinteran lo. Kok malah yang masuk kelas favorite, gue ya? aneh," telaah Lena.

"Ya, udah takdir. Mungkin gue pas dan nyamannya bisa di sini, kelas IPA 2," bijak Erland.

"Tapi gue kok nggak nyaman ya di IPA 1? Padahal udah masuk semester dua. Kenapa tuh Er?" tanya Lena.

"Bukan enggak tapi belum. Lo belum nemuin kenyamanan lo di kelas," jelas Erland. "Mungkin besok, lusa atau beberapa hari lagi, tunggu aja. Kalau nggak, lo harus bisa rubah sifat. Coba deh bergaul dan nerima teman lo," saran Erland. Cowok itu sering sekali mendengar curahan hati sahabatnya. Semua tentang teman-teman kelas yang kerjaannya monoton. Baca buku dan mengerjakan soal.

Lena menganggukkan kepalanya beberapa kali, "Gitu ya?"

Erland mengangguk dengan yakin, "Iya, Cimol sayang." ujarnya seraya mengapit hidung mancung Lena. Mencubitnya gemas.

"Erland!"

Dua insan yang sedang tertawa bersama, langsung menoleh ke arah sumber suara. Lena memutar bola matanya. Sedangkan Erland tersenyum manis ke arah cewek itu.

"Kenapa Mia?"

"Kantin yuk..." ajak Mia manja.

Erland melihat arloji di pergelangan tangannya, "Udah mau bel. Nanti ya, istirahat ke dua. Aku temenin deh," nego Erland.

"Aku maunya sekarang Erland. Nggak mau nanti-nanti," rengek Mia. Cewek itu kini tengah menarik paksa tangan kiri Erland.

"Iya-iya. Lena, gue pergi dulu ya?" pamit Erland seraya berjalan mengikuti langkah cepat Mia.

Cewek itu menoleh, menjulurkan lidahnya ke arah Lena. Mengejek.

"Alay," gumam Lena sembari berjalan memasuki kelas.

***

"Alan!" gadis itu melangkah tergesa ke arah cowok yang tengah duduk santai di kursinya.

"Lo apain penghapus gue?" miris Lena sambil menatap naas penghapus pensil kesayangannya.

"Gue iris-iris," jawab Alan polos.

Lena memungut potongan kecil-kecil itu, "Lo tau? penghapus ini udah nemenin gue saat masa-masa sulit ujian. Kita mengukir kenagan berdua saat ujian berlangsung. Dia hilang, langsung gue cari, karena gue butuh. Dan sekarang, penghapus ini cuman tinggal kenangan yang tak akan gue lupakan," lebay Lena. Gadis itu menyeka bawah matanya, seolah-olah di sana ada air mata.

"Dan lo, Alan!" Tunjuk Lena dengan tatapan tajamnya. "Lo udah hancurin pimpi sekaligus keinginan gue, HUUAAA!!" jerit gadis itu.

"Mimpi apa?"

"Mimpi buat mecahin rekor. Menggunakan penghapus dari beli sampai habis tak bersisa. Gue udah nglakuin itu dari TK. Dan kesempatan itu belum juga berhasil...sampai sekarang saat gue udah masuk SMA," sedih Lena, gadis itu mendaratkan pantat di samping Alan. Matanya masih menyorot miris penghapus yang sudah berbentuk kecil, tak bisa lagi digunakan.

Alan menggaruk pelipisnya bingung, "Jangan nangis, Lena. Gini deh, gue beliin, lo mau berapa? hm?" rayu Alan.

Lena melebarkan matanya, berbinar. "Serius?" tanyanya memastikan.

Alan mengangguk semangat.

"Coba deh bergaul dan nerima teman lo."

"Gue mau beli sesuai jumlah murid kelas ini," ujar Lena. Mungkin dengan cara ini ia bisa mendapatkan kenyamanan, seperti apa yang di katakan Erland. Lena juga ingin sama dengan kebanyakan murid sekolah. Kisah persahabatan, percintaan dan juga banyak pengalaman di dalamnya, terutama masa SMA. Mungkin kalau percintaan, bisa di-pending dulu kali ya?
Kalau persahabatan, ia ingin memiliki sahabat lebih dari satu, bukan hanya Erland saja.

Alan meneguk ludahnya, "Lo sehat?" tanyanya sembari meletakkan telapak tangan di depan dahi Lena.

"Alhamdulillah, sehat dan baik-baik aja."

"Ini serius, Len? nggak salah?" tanya Alan, ragu.

"Iya Alan Reinaldo, Aillena Nerissa serius. Nggak ada tipu-tipu atau prank."

Dengan pasrah Alan mengangguk, "Yaudah, kapan?"

"Nanti, pulang sekolah." jawab Lena, antusias. "Lagian, kenapa ada cutter di sini? lo pinjam dari siapa?" tanya Lena heran, sembari menganggkat cutter berwarna hijau.

"Gue yang punya. Tadi kan gue gabut di sini, yaudah gue potong deh tuh penghapus lo." jawaban santai Alan mengundang tatapan tajam dari Lena. "Kenapa juga penghapus di taruh di atas meja? mana berantakan lagi." pandangan Alan menelusuri atas meja Lena yang sangat berantakan seperti tidak diurus.

"Tadi ada Erland. Yaudah deh gue langsung samperin," cengir Lena.

Alan mengacak rambut Lena, "Jorok! jadi cewek rapi dikit lah," nasehatnya.

"Iya-iya, nggak lagi deh," cemberut Lena.

Alan tersenyum manis, cowok itu mengulurkan jari kelingkingnya, "janji?"

Lena membalas senyum Alan, "Lena janji," balasnya.

Alan melepas tautan jari mereka, cowok itu memungut bolpoin Lena yang terjatuh di bawah kursi, dan menata buku yang terbuka sana-sini, "Sekarang bantuin gue, tata nih alat tulis lo."

Dengan sigap Lena menutup beberapa paket yang ada di atas meja, terbuka tanpa ada yang baca.

"Ini buku mau ditaruh di mana?" tanya Alan seraya memegang tiga buah buku tulis.

"Tas."

Alan menepuk kedua telapak tangannya, "Gini kan enak di pandang," telitinya, menatap meja Lena yang kosong tanpa benda.

Cowok itu bangkit berdiri, "Gue balik dulu, bye cengeng," pamitnya sembari melangkah menjauh, duduk di mejanya. Tak lama guru mapel datang dengan tergopoh.

***

Follow Istagram:
@moozyedeva
@aillena._

AILLENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang