10. SUDAH TIDUR

88 5 0
                                    

Kalau lagi marahan jangan lama-lama, nggak baik. Entar nyesel, nangis lagi.

AILLENA

***

Seorang gadis tengah duduk terbosan di anak tangga ke dua rumah pohonnya. Sedari tadi ia selalu melirik ponsel yang digenggamnya, berharap teman yang ditunggunya segera membalas pesan singkatnya dan meluncur cepat menemuinya.

Hari ini Lena dan kelompoknya akan mengerjakan tugas drama Bahasa Indonesia.

Sudah lima belas menit Lena menunggu, tapi tak kunjung muncul batang hidung mereka.

Lena berdiri, masih mengenggam ponsel di tangannya, ia kembali duduk, kali ini ia duduk di atas batu bawah pohon. Lena mengangkat ponsel, mengotak-atiknya sebentar, lalu ditempelkannya benda canggih itu di telinga kanannya.

Enam detik berlalu, dan yang Lena dengar hanya bunyi 'tut' saja. Dengan kesal Lena mematikan ponselnya dan memasukannya di saku celana panjangnya.

Lena memutuskan beranjak dari tempat duduknya, ia akan menunggu teman-temannya di atas pohon. Dengan hati-hati Lena menaiki satu persatu anak tangga yang dipijaknya. Sampai undakan ke tujuh suara lembut dikeraskan mengalihkan perhatian Lena.

Lena menoleh, ia mendapati teman semejanya tengah berlari kecil menghampiri dirinya.

Gadis itu menghela nafas, ia kembali menginjakkan kakinya ke bawah, kembali turun.

Setelah pijakan terakhir, ia menggerutu, "Kemana aja sih dari tadi? sampai jamuran nih gue disini." tanpa menatap Shella yang hanya tersenyum.

"Ya maaf, jalanan macet."

Lena memutar bola matanya jengah, "Alasan klise, ini Jogja bukan Jakarta, disini jarang macet."

"So-"

"Lupain," potong Lena cepat, ia tidak mau mendengar alasan basi yang keluar dari mulut Shella. Suara langkah kaki mengalihkan tatapan Lena, ia menatap ke samping kirinya. Tampak seorang pria dengan muka datar dan tatapan dingin, siapa lagi kalau bukan Gibran Ardana.

Lena memutar bola matanya, "Ini lagi, anak satu baru datang."

Gibran tampak cuek dan tak menaggapi.

"Kacang lagi," sindir Lena, namun percuma saja ia menyindir, cowok itu kadar kepekaannya hanya mungkin satu persen, sangat minim.

"Yuk mulai," ajak Shella. "Keburu malam nanti," sambungnya.

'Malam juga gara-gara lo!'

"Gue disini 'kan?"tanya Shella semangat, sambil duduk di kursi panjang.

Lena menatapnya datar, tanpa mau membalas ucapan Shella.

"Kok pada diam?" ujar Shella keheranan, "Ayo ki-"

"Sorry telat," ucapan Shella terpotong oleh suara bariton dari jalan masuk.

Semua atensi menatap pemilik suara bariton itu.

Lena tersenyum, "Gak papa Al, kita juga baru nyampe."

Shella menatap bingung pada pria itu, "Kok Alan ikut kita?"

"Ya nggak papa, biar dramanya keren. Lagian semakin banyak pemain semakin seru kan?" tanya Lena.

Dengan ragu Shella mengangguk, "Iya juga sih."

"Nggak papa kan Gib?" tanya Lena pada cowok yang sedari tadi bermain ponsel.

Gibran hanya menganggkat bahunya.

Lena menghembuskan nafasnya, kok bisa ya ada orang irit ngomong?

Setelah itu mereka bermain drama dengan bantuan teks, untuk menghafal. Lima belas menit kemudian mereka mempraktekkan adegan demi adegan di bawah rumah pohon dengan durasi 30 menit. Tak lupa mereka menyalakan kamera untuk mem-video yang nantinya akan dikirim ke guru Bahasa Indonesia mereka.

***

Malam yang pekat sama halnya dengan kamar seorang gadis yang sudah tertidur dengan nyenyaknya, sudah menjadi kebiasaan jika tidur harus dimatikan lampunya. Katanya kalau lampu kamarnya hidup ia tidak akan bisa tidur. Lagi pula jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ia tidak bisa berjaga--kecuali jika ia menonton film kesukaannya di laptop-- itu lain lagi ceritanya.

Tok! Tok! Tok!

"Len, ini Mama sayang, buka pintunya." suara ketukan disertai suara Dira menggema di depan pintu kamar Lena.

Hening

Tidak ada jawaban dari dalam kamar, Dira memutar handle pintu cokelat kamar Lena dengan hati-hati.

Setelah pintu terbukar lebar, Dira tersenyum, beliau menatap remaja cowok di sampingnya, "Maaf ya nak Erland, Lena-nya udah tidur."

"Ohh, yaudah nggak papa tante, mungkin besok di sekolah masih bisa ketemu," ujar Erland sopan. "Emm, ini buat tante sama om saja, dimakan ya," tambahnya.

"Ini, tadinya buat Lena?" tanya Dira menatap sekotak martabak yang sudah berada digenggamannya.

Mereka berjalan menuruni anak tangga, sesaat setelah Dira menutup rapat kembali pintu kamar Lena.

"Iya, sekarang buat tante sama om aja. Tapi nggak papa ya tan, cuma satu bungkus."

Dira tertawa, ia menapuk pelan bahu Erland, "Kamu bisa aja, entar tante sama om makan berdua. Biar romantis," ucap beliau bercanda.

"Gak papa tan, sekalian inget zaman muda," balas Erland terkekeh.

"Ada-ada aja kamu."

Erland menyengir, "Maaf tan gak bisa lama, Erland pamit dulu," ujar Erland, ia menjabat tangan Dira dan menciumnya, ketika Erland sampai di lantai satu rumah Lena.

"Nggak mau makan dulu?" tanya Dira menawarkan.

"Sebelumnya makasih Tan, tapi Erland udah ditunggu bunda," ucap Erland sungkan.

"Ohh yaudah, hati-hati ya."

"Tante mah suka bercanda, orang tinggal nyebrang aja sampai," ucap Erland tertawa pelan.

"Siapa tau nanti kamu tabrakan sama udara?"

"Tante mah suka garing."

"Gak papa Er, sekali-kali hidup harus bercanda, jangan serius mulu."

"Iya juga sih tan. Ehh, ini kapan Erland pulangnya?"

"iya, ya? yaudah gih sana pulang," Dira mendorong pelan bahu Erland.

"Ngusir nih Tan?"

"En-"

"Bercanda Tante," Erland berlari kecil menuju pintu utama rumah Lena. "Assalamualaikum tan, Erland pulang." pamit Erland seraya membuka pintu dan bergegas keluar tak lupa ia menutup pintu kembali.

"Waalaikumsalam," ucap Dira sepersekian detik ia geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

***

Follow Istagram:
@moozye28
@aillena._

AILLENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang