33. PASAR MALAM

50 1 0
                                    

Salah, kalau gue mau milikin kembali apa yang sudah gue milikin dulu?

Clarisa Mia

***

Malam minggu kali ini Erland gunakan untuk berjalan, menghabiskan waktu dengan kekasihnya, Mia. Memutari pasar malam yang diisi dari berbagai kalangan adalah tempat yang selalu Erland kunjungi saat waktunya tiba, dan biasanya akan dilaksanakan setiap tahun sekali. Sangat langka.

Matanya terus menelusuri setiap sudut pasar malam di lapangan sepak bola yang luas ini. Bibirnya selalu memancarkan senyum cerah, entah karena apa. Tapi, senyum itu lekas surut saat rengekan manja dari arah sampingnya berhasil mengusik ketenagannya.

"Sayang, kenapa malam minggu kita harus ke sini sih?" Mia mengedarkan pandangannya mengelilingi pasar malam, "jijik tau nggak? kumuh, bau, bejek lagi," cerocos Mia, yang sama sekali tidak digubris Erland.

Cowok itu berjalan di depan Mia, meninggalkan cewek manja yang sibuk membersihkan sepatu mahalnya. Habis terkena lumpur.

"Erland! sepatu aku kotor!" teriak Mia, cewek itu kewalahan dengan keseimbangannya. Hampir saja ia jatuh, sebelum sebuah tangan kekar memegang pergelangan tangannya.

"Aku tadi udah bilang kan, jangan terlalu berlebihan, terutama penampilan," terang Erland pelan.

"Ya, aku kira tadi kita mau ke mall, ke puncak, atau ke kafe. Tempat yang romantis gitu," balas Mia.

"Romantis sama ngehabisin uang kan?" tebak Erland.

"Ihh, kamu kok perhitungan banget sih?" cibir Mia.

"Itu bukan uang aku, jadi aku harus hemat. Besok deh kalo udah bisa kerja sendiri," kata Erland lalu tersenyum.

'Kalo masih bersama.'

Mia mencibik, "Terus uang siapa, kalo bukan punya kamu?"

"Orang tua aku."

"Sama aja Erland, uang orang tua sama uang anak!" gereget Mia.

"Menurutku beda." ujar Erland, berjalan meninggalkan Mia, lagi.

"Ihh! Erland, jangan ditinggal dong!" teriak Mia dari belakang.

Erland seolah menulikan telinganya, cowok itu melangkah cepat menuju pedagang aksesoris.

Netranya terpaku pada sepasang gelang couple, berwarna hitam dan putih. Tangannya terulur meraih gelang sederhana itu. Kenangan masa lalu berputar kembali di otaknya.

Langkah terburu sebuah keluarga kecil menyusuri setiap koridor rumah sakit. Tak henti-hentinya wanita kisaran dua puluhan menggumamkan angka-angka di balik ruangan yang terpampang jelas di atas pintu.

Meremas tangan mungilnya, Erland menatap gelisah. Ia takut, sudah dua kali ini ia membuat Risa celaka. Mungkin, luka pertama belum sembuh. Dan kini ia menambah luka baru lagi.

Satu bulir air mata kembali jatuh setelah tadi sudah kering. Erland memejamkan mata kecilnya saat Iradiana akan membuka sebuah pintu rawat. Ia yakin, itu adalah ruangan Risa.

AILLENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang