36. TERGANTIKAN

60 1 0
                                    

Kita tidak tahu isi hati dan pikiran orang.

Belum tentu di mata sama dengan di hati.

AILLENA

***

Seorang gadis dengan seragam sekolah cukup rapi tengah berlari kecil menyebrang jalan depan tempat tinggalnya, menuju bangunan rumah mewah di depan. Tepat kediaman sahabatnya, Erland.

Tanpa permisi, gadis itu langsung masuk ke dalam rumah, lagi pula gerbang di depan sudah dibuka. Ia tidak perlu repot-repot mengetuk atau sekedar mengucapkan kata 'Permisi'.

Dulu pernah ia melakukan sopan santun seperti di atas, tapi ujung-ujungnya ia ditertawakan oleh Erland, katanya, "Kayak di rumah siapa aja pake permisi segala."

Dengan senyum lebar, Lena memanggil nama sahabatnya kencang, "ERLAND! WOY! ER!"

Tak lama suara decakan perempuan yang berada di belakangnya, membuat Lena mengeryit bingung, suara itu tampak asing. "Nggak usah ngegas kali, pelan kan bisa," cibirnya.

"Mia?"

Suara langkah kaki mendekat, Lena menoleh sekilas dan mendapati sahabatnya tengah mengunyah roti. Dan baru Lena sadari sekarang, roti Erland sama dengan roti yang dimakan Mia. Biasa memang, tapi hati Lena tak biasa. Kebiasaan yang sama dengan yang dilakukan Lena dan Erland saat berangkat sekolah. Memegang roti berselai sembari berjalan menuju motor Erland terparkir. Dan kini dilakukan oleh Erland dan Mia, bukan dirinya.

"Kenapa Len?" tanya Erland dingin. Suara yang akhir-akhir ini Lena dengar, suara yang tidak ia sukai.

Lena menggaruk tengkuknya, ragu untuk menjawab. "Emm...mau nebeng," jawab Lena pelan.

"Lo nggak tau diri banget ya? jelas-jelas di sini ada gue, yang notabenenya adalah pacar Erland," celetuk Mia seraya melempar tatapan sinis ke arah Lena.

Lena tahu, "Lo kan punya mobil, Mi," balas Lena.

"Mia bareng gue," sebelum Mia mengucapkan kalimatnya lagi, Erland mendahului.

"Terus gue gimana?" tanya Lena. Di samping jam yang semakin bergulir akan dekat dengan bel masuk sekolah, selain itu juga Lena sudah ketergantungan dengan Erland. Maksudnya, selalu bersama ketika berangkat dan pulang sekolah.

"Naik taksi atau ojek aja ya, Len." suruh Erland sembari merogoh kantung celananya, memberi beberapa lembar uang ke arah Lena. "Nih  pake uang gue."

Lena menghembuskan nafasnya, "Yaudah kalo lo maunya gitu," sebelum Lena meraih uang itu, sebuah tangan lain sudah mendahuluinya.

"Dia juga punya uang sendiri kan, Er? ngapain pake dikasih segala." sahut Mia seraya mengambil alih uang Erland, dan memasukkannya ke dalam kantong saku baju Erland.

Erland berdecak pelan, "Nggak sopan," katanya sambil menepuk tangan Mia pelan. Dibalas pelototan sekilas dari Mia.

"Gue berangkat dulu deh, Er. Sorry ganggu waktu kalian berdua," ujar Lena menghentikan tingkah sepasang kekasih di depannya.

"Bagus deh kalo nyadar!" cibir Mia keras.

Lena keluar dari rumah Erland tanpa mengucapkan kata atau membalas cibiran Mia. Gadis itu merasa bingung dengan dirinya sendiri.
Ia merasakan kesal dengan sikap Mia dan marah akan kelakuan Erland yang diam saja.

'Sebenarnya, gue kenapa sih?'

Setelah Lena keluar dari rumahnya, Erland menatap sekilas Mia. "Keterlaluan kamu," katanya dingin. Lalu, Erland berjalan terlebih dahulu menuju parkiran motornya.

Mia melebarkan matanya, cewek itu mengekori langkah Erland, "Kok aku? yang keterlaluan itu Lena. Dia tau, aku pacar kamu, tapi dengan pedenya dia datang kesini. Kelihatan banget PHO."

Erland menoleh cepat, "Siapa yang PHO? dia itu Lena, sahabat aku. Bukan PHO." ucap Erland tanpa ekspresi. Yang artinya, cowok itu tengah menahan amarah.

"Kalo bukan. Terus apa, pelakor? dia itu bukan siapa-siapa kamu, Erland." kata Mia mulai tersulut emosi.

"Dia itu sahabat aku," perjelas Erland.

Mia tersenyum sinis, "Sahabat atau seseorang yang ada di hati?" tanya Mia sarkas. "Sebenarnya kamu itu lebih sayang sama aku atau Lena sih?" lanjutnya.

Erland terdiam, "Cepet naik." titahnya melembut. Mengabaikan pertanyaan Mia. Memang mudah dijawab, sebab di luaran sana sepasang kekasih pasti menyayangi pacarnya. Namun, sepertinya Erland harus membagi dua hatinya. Ia bimbang.

Mia menghembuskan nafasnya. Selalu seperti ini, ketika ia bertanya siapa yang Erland inginkan.

Di perjalanan Mia dan Erland tidak saling membuka topik obrolan, mereka diam dengan pikiran masing-masing. Bosan, Mia membuka ponselnya. Entah ide dari mana, cewek itu mengirimkan pesan untuk sepupunya.

***

Lena memandang jam tangannya, mulut gadis itu juga tidak bisa diam. Menghitung mundur setiap detik yang berputar.

Tiga

Dua

Satu!

KRINGG!.....

"YESS!!!" pekiknya girang.

Menimbulkan tatapan tidak suka dari guru yang selesai mengajar. Sedangkan teman-temannya, masa bodoh dengan kelakuan gadis itu. Ingat, mereka tidak akan perduli. Sekalipun Lena kejang di kelas.

Gadis itu berlari kecil ke arah cowok tampan yang sudah bersandar di daun pintu kelasnya. Sambutan senyum lebar nan manis menjadi makanan sehari-hari bagi Lena, setelah keduanya menjalani hubungan sebagai kekasih.

Mereka berjalan beriringan menelusuri koridor kelas sepuluh menuju kantin sekolah, tak lupa tangan mereka saling menyatu. Menggenggam erat.

"Len, nanti pulang sekolah ada acara nggak?"

Lena menuangkan sambal beberapa sendok ke dalam mangkuk mie ayamnya, "Enggak. Emang kenapa?"

"Temenin aku yuk," ajak Awan.

"Kemana?" tanya Lena sekenanya, seraya menggulung mie ayam dengan garpu. Lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Ke gor bulu tangkis, ada yang mau aku ambil di sana," jawab Awan. Cowok itu menatap penuh harap ke arah Lena yang tengah memakan pesanannya.

"Kamu suka bulu tangkis? kok aku nggak tau."

Awan menyengir, "Udah lama sih, mau nggak?"

Lena menganggukkan kepalanya, "Boleh," jawabnya singkat. "Ehh, kapan-kapan main yuk Wan, aku juga suka banget olahraga bulu tangkis," ajak Lena antusias.

"Besok deh," jawab Awan tersenyum.  "kapan-kapan," lanjutnya, lirih.

Lena tersenyum lebar. Lalu melanjutkan makanannya.

***

Follow istagram:
@moozye28
@aillena._

AILLENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang