31. GERAM

55 2 0
                                    

Tuk! Tuk! Tuk!

Seorang gadis berjalan gontai di sepanjang trotoar jalan, tidak jauh dari sekolahnya. Entah dari mana botol putih yang ada di gengamannya. Hanya benda itulah yang mengisi keheningan selain suara sepatu yang bergesekan dengan jalan dan suara dari kendaraan yang berlalu lalang, tentunya.

Gadis itu menoleh, menghentikan aksi memukul botol ke arah lengan kirinya. Berharap orang yang menjadi tumpangannya tadi pagi segera keluar dari gerbang sekolah. Ia menghembuskan nafas pasrah, cowok yang memiliki motor matic itu belum juga memberitahu keberadaannya. Dan mereka bertemu hanya tadi pagi saja. Itu pun tidak lama karena mereka langsung memasuki kelas masing-masing.

Gadis itu kembali memukul botolnya, "Apa nih, kok ada airnya." gerutu gadis itu lagi. Ia mengamati lekat-lekat botol minuman itu, dan ternyata benar, ada sedikit air di sana.  "Perasaan tadi nggak ada deh," gumamnya.

Lena membuang botol itu di tempat sampah dekatnya, lalu gadis itu mengusap kedua telapak tangannya bergantian, "Jijik banget, segabut itu ya gue?"

Lena terkekeh, memang sudah aneh dirinya. Ia menggelengkan kepala beberapa kali, lalu mengeratkan tas magentanya. Kaki gadis itu bergerak menendang kerikil yang di jumpai. Ia melirik jam tangan berwarna mustardnya. Hari semakin sore dan jalanan belum menampakan kendaraan umum yang melintas di dekatnya.

Lena melirik gusar ke langit, ia menoleh kembali ke gedung sekolah. Tampaknya sekolah itu sepi, sudah tidak ada kehidupan lagi. Lena menunduk lesu, ia pasrah jika harus berjalan beberapa kilometer di depannya.

Samar-samar Lena mendengar suara motor yang sudah ia hafal di luar kepala. Gadis itu menoleh excited, terlihat kuda besi berwarna putih mendekat ke arahnya, dengan pengendara yang ia kenali postur tubuhnya. Namun, dia membawa penumpang, dan itu bukan dirinya.

Semakin dekat laju kendaraan itu, mata Lena semakin berbinar. Tapi ada sedikit perbedaan, motor itu semakin kencang saat melewati dirinya. "Erland! Er! ERLAND!" teriak Lena, namun Erland menghiraukannya, menoleh pun tidak.

Lena menatap sedu dua insan yang sudah melambat di depan sana, sangat jauh. "Dia kenapa sih? pura-pura tuli atau..."

Pikiran aneh mulai bersarang di otak dengan IQ 121 itu. Lena mencoba mencegahnya, ia tidak mau berpikiran buruk, "...emang tuli!" lanjutnya.

Tak berselang lama suara motor berhenti tepat di sampingnya, "Belum pulang?"

Lena menoleh, ia tersenyum manis ke arah teman sekelasnya, "Udah," jawabnya.

"Serius, Lena."

"Punya mata kan Mas?" tanya gadis itu usil.

"Enggak. Mbak mau jadi mata saya?"

Spontan Lena mendorong bahu Alan kencang, "Receh!"

"Emang ya, lo doang yang saltingnya beda. Nggak kira-kura sampai mau jatuh gue." ujar Alan tertawa pelan. "Kalo receh, kasih aja ke gue. Langsung gue terima asal jumlahnya nyampe sepuluh ribu," katanya.

"Itu mah mau lo!"

"Emang," ucapnya. "Yang ngasih duit juga gue terima." tambah Alan lirih.

Lena tertawa begitu juga dengan cowok berjaket kelabu itu.

"Nggak bareng Erland, Len?" setahunya sahabatnya itu selalu berangkat-pulang bersama dengan gadis ceria di depannya.

"Enggak, dia sama ceweknya. Gue sebagai sahabatnya ditinggal, miris kan?" tanya Lena, drama.

"Banget, sampe ada air mata segala." canda Alan.

Lena mengusap pelan matanya, "Masa sih?"

Alan terkekeh, "Ora, guyon."

(Enggak, bercanda)

"Guyonmu ra lucu!" sungut Lena.

(Bercanda lo nggak lucu!)

"Tapi kowe seng lucu," balas Alan tersenyum manis.

(Tapi lo yang lucu)

"Is-"

"Mau pulang nggak?" tawar Alan seraya menyondorkan helm berwarna hitam dengan ukuran lebih kecil dari miliknya. Memotong ucapan Lena.

"Pulang lah! ngapain gue mau di sini lama-lama?"

"Bisa mangkal, mulung, atau jad-" Lena membekap mulut Alan dari belakang, membuat posisi Lena seperti sedang memeluk Alan. "Nggak elite banget pekerjaannya. Udah yuk ah pulang!"

Motor hitam itu melaju dengan kecepatan rata-rata. Ikut membelah jalanan dengan kendaraan lain ditemani semburat warna bergradasi orange dan merah kekuningan di atas sana, sangat indah.

Di balik pohon cemara depan gerbang sekolah, tampak seorang gadis dengan kacamata bulat selalu bertengger di hidung mancungnya tengah menggeram marah dan mengepalkan ke dua tangannya kuat-kuat.

Ia mengambil ponsel silver di saku baju OSIS-nya, menelfon orang yang akan menjadi luapan amarahnya nanti, setelah mereka bertatap muka beberapa jam lagi.

***

Follow Istagram:
@moozyedeva
@aillena._

AILLENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang