34. DOUBLE DATE

62 2 0
                                    

Emang lo siapa gue, sampe gue harus nurut sama lo?

Ravindra Erland

*Manusia yang lagi kesal, tapi juga bahagia secara bersamaan.*

***

"Woy Er!" teriak seorang gadis dari ujung koridor seraya berlari kecil ke arah cowok jangkung dan pacarnya. Padahal jarak mereka cukup jauh. Ujung dengan ujung. Benar-benar bar-bar.

Erland dan Mia menoleh serentak. Cowok tampan itu tersenyum manis saat sahabatnya tengah menghampiri dirinya. Sedangkan Mia, mencibik tidak jelas.

"Kenapa?" tanya Erland sesaat setelah Lena berdiri tepat di depannya, dengan nafas tak beraturan.

"Gue sama Awan mau nge-date, tapi gue maunya lo ikut. Jadi, kita mutusin buat double date. Gue sama Awan, lo sama Mia. Mau nggak?" tanya Lena antusias.

"Enggak. Gue sibuk, mau k-"

"Boleh Len, seru tuh. Kapan?" ucapan Erland dipotong cepat oleh Mia.

"Nanti malam jam delapan, di kafe dekat sini." jawab Lena. Gadis itu menatap heran sahabatnya. Tumben sekali Erland sibuk, biasanya cowok itu mau ia ajak. Kemana pun itu. Ada yang aneh.

Mia menarik pergelangan tangan Erland, guna merapat ke tubuhnya. Cewek itu mengangkat dagu ke arah Lena dengan senyum sinisnya. Seolah memberitahu Lena, bahwa Erland sekarang sudah menjadi miliknya.

"Pasti kita akan datang," kata Mia semangat, cewek itu menarik Erland menuju parkiran sekolah.

Meninggalkan seorang gadis yang tengah bergidik ngeri. 'Mau-maunya Erland sama ulat bulu.'

***

Erland tertegun saat irisnya berhenti tepat ke arah gadis cantik dengan gaun putih tengah tersenyum, menampilkan gigi putih ke arahnya.

Cowok itu balas tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cowok itu balas tersenyum. Lantas ia terkejut lalu memutus pandangannya saat perempuan di sampingnya memeluk erat lengan kirinya. Jujur, ia risih dengan posisi ini. Erland berusaha melepas dan menyingkirkan tangan Mia dari lengannya, "Mia, jangan gini. Malu, diliat orang banyak," walaupun ia tidak suka dengan sikap Mia, tapi sebagai laki-laki, tetap harus menggunakan cara halus untuk menolak sikap orang terhadapnya, terutama perempuan. Sangat bajingan jika menggunakan cara kasar, dan itu bukan dirinya.

"Ya, nggak papa Erland. Kita kan pacaran!" elak Mia, tangan cewek itu mulai bergerak memeluk Erland dari samping, saat netranya sudah menemukan Lena dan Awan yang telah sampai duluan. Mia memeletkan lidahnya ketika Lena menoleh ke arah ia dan Erland. Mia tertawa dalam hati, saat Lena terang-terangan mendengkus tidak suka.

"Hai Lena, Awan. Udah lama?" basa-basi Mia seraya mendaratkan pantat di depan meja Lena dan Awan.

"Belum, baru juga duduk," sahut Awan ramah.

Dalam diam Erland menatap lekat Lena, malam ini gadis itu berbeda. Sangat cantik. Tapi, satu fakta yang harus Erland ingat, kenyataan yang membuatnya menjadi orang termenyedihkan. Gadis itu cantik bukan untuk dirinya, melainkan orang lain. Sesaat ia tersenyum miris.

Tak lama pelayan di kafe ini mendekat, menawarkan berbagai menu pilihan. Dua pasangan itu menyebutkan makanan dan minumun yang mereka inginkan. Dan setelahnya pelayan itu undur diri untuk membuatkan pesanan.

"Tumben Er, nggak pesen spaghetti bolognese. Biasanya kalo ke kafe pesennya selalu ada makanan itu." heran Lena.

Erland tersenyum tipis, "Mau coba yang lain."

"Hafal banget makanan kesukaan Erland, kalo aku tau nggak Len?" timpal Awan, sedikit menyindir.

Lena menggaruk kepalanya, "Enggak," jawabnya santai. "Emang apa makanan kesukaan kamu?"

Awan menghembuskan nafas, "Masa makanan pacar sendiri nggak tau, padahal aku aja tau makanan kesukaan kamu," ujar Awan.

"Ohh ya? apa coba." tantang Lena.

"Sushi, pizza, spaghetti, pancake, cheese cake, dan makanan mahal lainnya. Iya kan? tebakanku pasti benar!" ucap Awan percaya diri.

Lena hanya bisa mengulum senyumnya.

"Bukan, Lena nggak suka makanan dari luar negeri. Dia pecinta kuliner Indonesia. Seperti gudeg, pecel, nasi padang, nasi goreng kambing, batagor, ketoprak," celetuk Erland.

"Ohh pantesan, kamu tadi pesen gudeg, ternyata makanan favorit kamu toh. Selera kamu kampungan ya?"

Lena mengangguk, "Iya, kampungan. Karena orang kaya nggak bisa kaya kalo nggak ada orang kampung." Balas Lena.

"Enggak tuh Len. Buktinya aku," tandas Awan.

"Kamu apa? kamu juga masih minta uang bokap kan? bokap kamu kalo nggak ada orang kampung, pasti udah bangkrut." sarkas Lena santai.

Mia yang sedari tadi diam kini mulai angkat bicara, "Udah nggak usah dilanjut, kita mau makan kan? jangan berantem," lerai Mia.

"Eggak berantem, cuma adu mulut," kata Lena.

Awan mendengkus, "Padahal yang pacarnya Lena itu gue, kenapa lo yang ngerti makanan Lena?" tanya Awan pada Erland.

Erland mengerjap, 'Jadi mereka udah jadian?'. "Tau lah kita kan sahabat dari kecil." balas Erland.

Mia memutar kedua bola matanya, muak dengan kata-lata Erland barusan. 'Duluan juga gue, Er.'

Dari arah samping tampak dua orang pelayan kafe tengah berjalan ke arah mereka. Setelah makanan siap dan tertata rapi di atas meja salah seorang pelayan berucap ramah, "Silahkan dinikmati," ditambah senyumnya.

"Terima kasih, Mbak," sopan Lena.

Kepergian ke dua pelayan itu membuat meja yang tadinya diisi suara bersahutan kini tampak hening. Mereka lebih memilih menyantap hidangan.

"Sayang, coba deh steak aku. Enak banget!" tawar Awan sembari mendekatkan garpunya ke arah bibir Lena.

"Boleh," Lena mendekat seraya membuka mulutnya, memberi akses untuk Awan menyuapi.

"Enak kan?" tanya Awan.

"Aku nggak terlalu suka steak. Lebih enak ini gudeg, mau coba?" tawar Lena balik.

"Enggak. Nggak enak, nggak bersih, makanan orang miskin!" ucap Awan.

'Masih aja.'

Lena mengangkat bahunya, "Yaudah, gudeg enaknya dimakan sendiri. Nggak usah bagi-bagi!"

Entah kenapa senyum Erland mengembang sempurna melihat perdebatan di depannya.

***

Follow Istagram:
@moozyedeva
@aillena._

AILLENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang