🍭🍭🍭
"Oh, baby, I'll take you to the sky. Forever you and I, you and I, you and I."
"And we'll be together 'til we die. Our love will last forever and forever you'll be mine."
"You'll be mine."
Sambil menikmati lolipop berbentuk hati yang tidak pernah absen menyapa lidahku setiap harinya, aku ikut menyanyikan reff lagu diiringi genjrengan gitar yang dimainkan Gilang.
Kami saat ini tengah menikmati udara segar di taman dekat perpustakaan.
Disebabkan kursi taman hanya ada satu, itupun hanya muat untuk tiga orang, jadi yang lainnya memilih duduk di atas rerumputan.
Aku, Milly, dan Leo duduk di kursi. Lebih tepatnya, Leo duduk di sandaran kursi dengan kaki menjuntai di sampingku. Kak Rhea bersandar di kedua betisku, Gilang berada di tengah menghadap ke arah kami, Eza menghadap Gilang dengan punggung menyandar di kaki kursi, sedangkan Asep dan Randi tiarap sambil memainkan game di ponselnya. Jika kalian bertanya di mana keberadaan si kembar, maka jawabannya aku tidak tahu. Dua orang itu belum muncul sejak tadi.
Walaupun nampak sibuk dengan aktifitas masing-masing namun, kami ikut bernyanyi saat Gilang memainkan gitarnya.
Arvelo and the gank hampir semuanya bisa bermain gitar, kecuali Randi yang katanya lebih suka menciptakan irama dengan stick drum. Tapi, kalau soal suara, Gilang lah yang paling bagus. Bahkan, menurut info dari Milly juga, Gilang sering live acoustic di cafe milik Tante Dhania---Mamanya si kembar.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengetahui satu-persatu fakta lainnya tentang sahabat-sahabatku ini. Dimulai dari Arvelo and the gank yang ternyata sama-sama suka bermain skateboard.
Lalu, bakat mereka di bidang non akademik, seperti: Arvelo, Eza, dan Gilang yang masuk ke team voli andalan SMA Garuda; Kak Rhea yang ternyata atlet renang kebanggan sekolah; Randi dan Leo yang juga masuk ke team basket inti; Kak Vela yang pernah menjadi ketua cheerleaders; Asep yang ternyata atlet karate; sampai bakat menulis yang dimiliki Milly.
Ternyata aku memiliki sahabat-sahabat dengan bakat-bakat mengagumkan yang mereka punya. Jika aku tidak memiliki bakat apapun, sepertinya aku akan minder bergabung dengan mereka.
Untuk latar belakang keluarga, aku baru mengetahui fakta bahwa Randi memiliki ikatan saudara dengan Arvelo dan Kak Vela. Dan Asep yang ternyata memiliki ayah seorang kiyai.
Aku benar-benar syok dengan kedua fakta tersebut. Bahkan aku sempat tak percaya mengingat se-absurd apa kelakuan Arga Septian.
Tawaku pecah menyaksikan Kak Rhea yang melayangkan sepatunya pada Eza karena cowok itu tiba-tiba saja bernyanyi keras di depan wajahnya.
Dua orang itu memang jarang sekali akur jika dipertemukan. Sikap tengil Eza selalu berhasil menyulut aura galak pada diri Kak Rhea.
"Shen, bagus gak?" aku melirik Leo di sampingku.
Ia menyodorkan sejumput rambut yang kontan membuat mataku terbelalak. "Leo, lo apain rambut gue?" pekikku.
"Gue kepang. Bagus gak? Ngepang gini bukan, sih?" ocehnya.
Aku mendesah pelan melihat hasil tangan Leo. Tidak ada bentuk kepangan sama sekali. Hasilnya lebih kusut dari rambut yang terkena angin saat naik motor. Serius!
"Balikin kayak semula. Gak mau tau gue!"
Kudengar Leo terkekeh. Namun, cowok itu menurut. Ia melepas hasil lilitannya dan merapihkan rambutku kembali dengan sisir kecil yang dipinjamnya dari Asep.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVELO (Want You With Me)✔
Teen Fiction(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!) =Proklisi Series= ARVELO 'There are so many people you want to be with me' 🍭🍭🍭 Sejak kepindahanku yang terjadi atas permintaan Bunda, duniaku seolah berubah. Semesta mempertemukanku dengan orang-orang baru yang m...