Ketika jarak teramat jauh untuk kita tempuh. Ketika peluk begitu sulit untuk kita dapati. Mungkin mendoakanmu adalah sebaik-baiknya cara untuk bertemu. Meminta kepada Tuhan agar hatimu tetap untukku, sekali pun dirimu jauh dari tatapku.
Deretan kalimat tersebut kini sudah tertulis rapih di lembaran diary-ku. Terhitung sudah lima bulan hubunganku dan Arvelo berjalan. Dan entah kenapa, bukannya makin terbiasa, ini malah terasa semakin berat saja. Apalagi Arvelo sekarang sudah jarang sekali mengabariku karena kesibukannya.
Katakanlah aku lebay, namun aku merasa benar-benar merindukan cowok itu. Perbedaan waktu di Jakarta dan Chicago membuat kami benar-benar sulit untuk berkomunikasi.
Menjalani hubungan jarak jauh ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Sempat terlintas untuk mengakhiri karena rasanya aku tak sanggup untuk melanjutkannya lagi. Namun, sekali lagi aku dikalahkan oleh perasaanku. Lagi pula, aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Selagi Arvelo mau berjuang bersamaku, aku tidak akan menyerah dengan keadaan.
Meraih ponsel di atas nakas, aku berjalan menuju balkon kamar. Niatku ingin menghubungi Arvelo. Di sini masih pagi, kemungkinannya di sana sudah malam. Aku tidak yakin Arvelo akan mengangkat telponku. Karena dari yang sudah-sudah, Randi bilang Arvelo kelelahan hingga tak sempat mengangkat telpon dariku.
Aku menghela nafas panjang karena Arvelo tak mengangkat panggilan pertamaku.
Mencoba lagi mungkin tak ada salahnya.
Kembali kutempelkan ponselku di telinga setelah menghubungi kembali nomor Arvelo.
"Hallo?" sapaan dari sebrang telpon berhasil membuat jantungku berdebar.
Ya ampun! Serindu ini kah aku hingga rasanya mau menangis kencang sekarang?
"Assalamualaikum." dari sebrang telepon Arvelo membalas salamku dengan nada suara lemah. Berani bertaruh kalau cowok itu sedang kelelahan sekarang. Aku jadi merasa bersalah karena sudah mengganggunya.
"Lagi capek, ya?" tanyaku berbasa-basi.
"Iya, baru pulang, tadi abis nugas dulu."
"Maaf ganggu." aku menunduk sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal yang kurasakan beberapa waktu terakhir. "Vel, aku kangen." aku berujar lirih disertai air mata yang sialnya malah merembes membasahi kedua pipiku.
Lama hening, hingga terdengar balasan dari Arvelo, "aku juga."
Tangisku benar-benar pecah sekarang. Sekuat apapun aku menahan, rasanya tetap sesak. Aku tidak tahu apa aku sanggup melanjutkan ini lagi atau tidak.
"Shen, are you okay?"
"Shena!" Arvelo kembali bersuara karena aku tak menjawab pertanyaannya.
Tak lama kemudian, terdengar helaan nafas kasar di sebrang telepon. "Shena, aku capek. Bisa kamu berhenti nangis? Kepala aku lagi mumet banget, Shen."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVELO (Want You With Me)✔
Teen Fiction(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!) =Proklisi Series= ARVELO 'There are so many people you want to be with me' 🍭🍭🍭 Sejak kepindahanku yang terjadi atas permintaan Bunda, duniaku seolah berubah. Semesta mempertemukanku dengan orang-orang baru yang m...