🍭🍭🍭
Semenjak persetujuanku membantunya beberapa waktu lalu, aku jadi lebih sering berinteraksi dengan Arvelo. Tak jarang juga dia minta ditemani makan seblak padaku.
Kalau boleh jujur, perlahan aku mulai terbawa perasaan oleh kedekatan kami. Walaupun, mungkin saja Arvelo hanya sekadar memerankan peran sebagai sahabat yang baik, sama halnya dengan Leo, Eza, dan yang lain. Mungkin iya, aku terlalu lancang jika mengartikan semuanya lebih dari itu.
Aku tidak pernah berniat membatasi diri untuk tak memiliki rasa lebih pada Arvelo. Aku hanya membatasi diri agar tak menaruh harap lebih pada cowok itu. Intinya sadar diri aja. Mengingat kedua mantannya memiliki level lebih tinggi dariku, tentu saja kerap kali membuatku insecure. Merasa tak pantas menjadi pengganti dua bidadari yang pernah mengisi hatinya.
"Gue mergokin lo semalem." ucapan Shaidan menghentikan langkahku yang hendak menginjak undakan tangga.
"Apaan sih?" cetusku.
"Semalem lo di warung seblak 'kan, sama Bang Velo?"
Tepat sekali! Hanya saja, dari mana bocah ini tahu?
"Lo ngikutin kita?" tudingku.
"Kurang kerjaan banget. Orang gue gak sengaja lewat abis beliin Bunda soto ayam semalem," kilah Shaidan.
Kuhampiri anak itu yang sedang sibuk menempel stiker di skateboard-nya. "Emangnya kenapa kalau gue makan bareng dia?"
"Gak papa, sih." Shaidan melirikku yang baru saja duduk di sampingnya. "Sebenarnya lo suka gak sih, sama Bang Velo?" tanyanya kemudian.
Walaupun sedikit menyebalkan, Shaidan itu enak dijadikan teman cerita. Jadi, jika sedang butuh teman curhat aku tak perlu bingung harus mencari siapa.
"Kalau gue suka pun, dia mana mungkin suka balik. Dia bisa nemuin cewek yang lebih segala-galanya dari gue."
"Urusan hati siapa yang tau," sahut Shaidan.
"Iya. Tapi cewek kayak gue mana pantes buat Arvelo. Selera dia tuh sekelas Laura Anjesmara. Gue mah apa atuh?"
Shaidan menoyor dahiku dengan jari telunjuknya. "Lo itu cantik, Kak. Keseringan banding-bandingin diri sendiri sama orang lain yang bikin lo gak pe-de. Kurangin insecure deh. Kalau nyatanya Bang Velo milih lo, itu bukan berarti seleranya jatoh, tapi karena dia ngerasa lo lebih pantas buat dia dari pada yang lain."
Kubalas toyorannya dengan toyoran juga. "Heh! Lo tuh masih bocil, belum cocok ngomongin cinta-cintaan." setelahnya, aku beranjak menuju kamar.
Bohong jika aku tak memikirkan perkataan Shaidan. Sejauh ini, wejangan anak itu selalu bermanfaat untukku. Entah untuk kali ini.
Kutatap pantulan wajahku di cermin rias. Wajahku memang tak bisa dikatakan jelek. Aku memiliki kulit putih pucat, hidung cukup mancung, mata bulat, dan rambut panjang berwarna kecoklatam. Hanya saja, aku masih kalah jauh jika dibandingkan dengan kedua mantan Arvelo.
Eh, hey! Kenapa aku jadi sibuk sendiri seperti ini? Kenapa juga harus repot-repot memikirkan hal semacam ini?
"Gue beneran suka kali ya, sama Velo?"
🍭🍭🍭
"Kak, jemput adikmu, sana!" perintah Bunda mau tidak mau membuatku beranjak dari kamar.
"Shaidan emang ke mana, Bun? Kenapa gak telpon aja?"
"Ke skatepark. Dia lupa bawa hape kayaknya. Udah sana, buruan!"
Dengan headphone yang terpasang di kedua telinga, kugayuh sepeda sport-ku menuju skatepark---seperti kata Bunda tadi.
Dari kejauhan sudah terlihat betapa ramainya arena bermain skateboard tersebut. Aku jadi ragu, apalagi di sana sepertinya dominan laki-laki.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVELO (Want You With Me)✔
Teen Fiction(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!) =Proklisi Series= ARVELO 'There are so many people you want to be with me' 🍭🍭🍭 Sejak kepindahanku yang terjadi atas permintaan Bunda, duniaku seolah berubah. Semesta mempertemukanku dengan orang-orang baru yang m...