🍭🍭🍭
Jari telunjukku mengarah pada sepatu yang kukenakan ketika Shaidan keluar dari rumah dengan skateboard barunya. Dengan ogah-ogahan dia jongkok, lalu mengikat tali sepatuku.
"Mau kemana lo, Kak?"
"Mau main basket di depan," kataku.
"Jalan kaki?" tanya Shaidan lagi. Kali ini kubalas dengan anggukan.
Setelah selesai mengikat tali sepatuku, kami berjalan beriringan melewati pagar. Shaidan langsung meluncur dengan sakteboard-nya, sedangkan aku harus menutup pagar dulu.
"Haaa!" aku memekik kaget saat menemukan Arvelo yang entah sejak kapan sudah berada di belakangku. "Ngagetin, ih!"
"Hehe, sori. Shaidan mana?" tanyanya.
Lenganku terangkat, menunjuk Shaidan yang tampak kian mengecil karena jaraknya sudah lumayan jauh dari sini. "Katanya mau ke skatepark."
Arvelo mengangguk. "Mau ke lapangan basket depan ya?"
"Iya."
"Ya udah, bareng."
Sepanjang jalan aku memantul-mantulkan bola basket untuk memecah keheningan. Arvelo tidak membuka suara sama sekali, dan aku juga tidak tahu mau membahas apa.
"Vel!"
Arvelo berdehem. Kulirik cowok itu sejenak, lalu menghentikan drible yang sejak tadi kulakukan. "Kemarin lo nganter gue balik karena disuruh Bunda?" aku punya alasan kenapa menanyakan hal ini.
Semalam aku memarahi Bunda karena menurutku wanita itu merepotkan Arvelo dengan menyuruhnya mangantarku pulang. Namun, kalian tahu apa jawaban Bunda? Katanya dia tidak pernah menyuruh Arvelo untuk mengantarku pulang.
Walaupun malam hari, jalanan komplek rumah kami ini lumayan terang hingga membuatku bisa melihat dengan jelas perubahan air muka cowok di sampingku ini.
"Vel! Denger gak, gue nanya apa?"
Dia mengangguk. "Kan udah gue bilang. Disuruh Bunda lo."
"Tapi, kata Bunda, dia gak ada nyuruh lo anter gue pulang. Malah gue denger dari Randi, lo diomelin karena telat masuk jam les," kataku.
Entah untuk alasan apa, kudengar Arvelo meringis sambil mengusap tengkuknya. "Emang gak ada sebenarnya. Itu inisiatif gue sendiri. Takutnya Laura masih mau macem-macem sama lo."
Dahiku mengerut bingung. Jadi, cowok ini mengkhawatirkanku? Lalu, kenapa harus dengan cara berbohong kalau Bunda yang meminta?
"Jadi ceritanya khawatir? Ngapain pake bohong segala?"
"Biar lo gak nanya-nanya, terus ujung-ujungnya nolak," katanya.
Aku terkekeh. Padahal aku mana bisa menolak. Melihat wajah tanpa ekspresinya kemarin saja membuatku ciut.
"Shen!" belum sempat kujawab panggilannya, cowok itu lebih dulu menarik lengan kananku, membuat langkah kami kompak terhenti. Dia menautkan telapak tangannya dengan telapak tanganku, seperti sedang bersalaman. "Mulai sekarang kita sahabatan, ya."
Perkatannya membuat dahiku mengerut bingung. "Emang selama ini enggak?" tanyaku.
"Tapi lo masih suka canggung kalau ke gue. Beda kalau sama yang lain," katanya. Kaki kami kembali melangkah beriringan.
"Sikap gue tergantung gimana orang ke gue, Vel."
Dia mangut-mangut. "Jadi, kalau ada yang jatuh cinta sama lo, lo bakal jatuh cinta balik, gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVELO (Want You With Me)✔
Teen Fiction(DIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!) =Proklisi Series= ARVELO 'There are so many people you want to be with me' 🍭🍭🍭 Sejak kepindahanku yang terjadi atas permintaan Bunda, duniaku seolah berubah. Semesta mempertemukanku dengan orang-orang baru yang m...