-Arvelo'32

3K 300 187
                                    

🍭🍭🍭

Setelah salat subuh, mandi, dan merapihkan kamar, aku kembali ke rumah Arvelo dengan semangkuk sop ayam buatan Bunda.

Aku benar-benar menginap di rumah Arvelo semalam, ditemani Shaidan tentunya. Anak itu kulihat baru saja kembali dengan wajah agak segar, sepertinya baru selesai salat.

Ayah masih sakit, yang alhasil Bunda kembali memintaku untuk menjaga Arvelo sampai cowok itu benar-benar sembuh. Katanya, Om Rafael dan Tante Dhania akan tiba di Jakarta sore hari.

Semalaman aku benar-benar tidak bisa tidur dibuat Arvelo. Cowok itu gelisah dalam tidurnya, mengigau dengan suhu tubuh yang bertambah panas secara tiba-tiba. Ia hanya akan tenang setelah dikompres dan dielus rambutnya.

Ya ampun! Aku benar-benar tidak menyangka bahwa si ketua geng bisa semanja itu kalau sedang sakit.

"Vel!" kuketuk pintu kamarnya yang tertutup.

Tidak butuh lama hingga sahutan dari dalam membuatku dengan berani memasuki kamarnya. Ia sendiri yang suruh.

Menaruh mangkuk serta nasi putih dan air minum yang kupinta dari ART-nya tadi ke atas nakas, aku menghampiri cowok itu yang masih bergelung dengan selimutnya.

"Masih pusing gak, Vel?" tanyaku yang ia balas dengan gelengan kecil.

"Gak terlalu," jawabnya.

Aku mengangguk singkat, lalu membantunya untuk duduk. "Lo, udah bangun dari subuh?"

Gantian ia yang mengangguk. "Gue kan punya kewajiban, Shen," katanya sambil meneguk air putih yang kusodorkan padanya.

Senyumku terukir tipis. Hangat saja rasanya. Kalau Bunda yang dengar, pasti wanita itu akan memuji-muji Arvelo dan kembali mengatakan bahwa cowok ini adalah definisi mantu idamannya.

"Udah bisa makan sendiri 'kan?"

"Bisa, sih. Tapi, kalau gue minta suapin lagi, boleh?" mulutku terkatup rapat mendengar permintaannya. Bingung harus menjawab apa, akhirnya aku mengangguk saja.

Oke, tidak ada yang salah dari membantu sahabat yang sedang dalam keadaan sakit. Kalau sahabat-sahabatku yang mengalami hal sama, aku yakin akan memberikan perhatian seperti ini juga pada mereka.

Walaupun, ya ..., mungkin tak akan sespesial Arvelo.

Karena, kalian tahu sendiri di hatiku, dia menduduki posisi apa.

"Pake sendok ya, Vel? Ini kan ada kuahnya."

"Buatan Bunda, ya?"

Aku mengangguk. "Gak mungkin buatan gue."

Dia tertawa. "Gak usah dipake aja kuahnya. Gue lebih suka makan dari tangan langsung," ujarnya.

Setelah kembali memberikan anggukkan padanya, aku beranjak menuju wastafelt kamar mandi guna mencuci tanganku yang takutnya kotor. Padahal, sebelum ke sini juga akun mencuci tangan tadi.

Baru saja aku hendak kembali duduk di tempatku tadi, suara deruman mesin yang tidak hanya berasal dari satu motor membuatku kontan menoleh ke arah balkon. Walaupun, hasilnya aku hanya bisa melihat balkon kamarku yang sejajar dengan milik Arvelo.

"Kayak kenal," gumam Arvelo. Ia menyibakan selimut, lalu berjalan gontai menuju balkon. Dengan kedua tangan bertumpu pada pagar pembatas, ia menengok ke arah bawah. Lalu, kembali memasuki kamar dengan memegang keningnya.

"Pusing, ya?" tanyaku. Dia mengangguk singkat. Kembali ke tempatnya semula.

"Lo kasih tau yang lain kalau gue sakit?"

ARVELO (Want You With Me)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang