Bab 40 Ini bukan papa

171 14 6
                                    

"Sungguh, hanya hujan yang kunanti. Sebab, hanya ia yang mampu menyamarkan tetesan air mataku dari kesedihan ini."

~Problematika Rasa~

Erlina POV

"Masakan macam apa ini rasanya nggak karuan." gerutu papa.

Yah kalimat itulah yang selalu keluar dari mulut papa kala memakan masakan mama. sikap papa semakin ke sini semakin aneh, papa selalu menghina masakan mama. Padahal menurut gue masakan mama selalu enak dan lezat.

"Papa kenapa selalu menghina masakan mama, padahal masakan mama selalu enak. Apa lidah papa mati rasa." ucapku geram. Gue tak suka dengan orang yang berani menyakiti hati mama gue, walaupun orang itu papa gue sendiri.

"Dan satu lagi pa, Erlin mohon hargailah makanan. Pasti papa tau di luar sana banyak orang yang mati kelaparan, banyak orang yang rela mengais sisa makanan dari tempat sampah untuk mengganjal rasa lapar yang ada di perut mereka. Sedangkan papa, apa yang papa lakukan ? papa selalu menghina masakan mama. Jika papa tak mau makan ya sudah, nggak usah di makan dan tak perlu menghina." ucapku.

Setelah meluapkan unek-unek yang ada di hati, gue beranjak kembali ke kamar. Mungkin perkataan yang gue lontarkan mewakili isi hati mama, yah karena mama selalu diam dengan hinaan yang papa berikan. Tapi tidak dengan gue.

"Anak tak tau di untung, lebih baik dulu papa tak menyekolahkanmu. Buang-buang uang saja, anak tak berguna." pekik papa kepadaku.

"Urus anakmu itu !" ucap papa kepada mama.

Kata itulah yang gue dengar, seakan-akan aku bukan anak papa. Papa hanya bilang urus anakmu itu, bukan urus anak kita. Itu artinya gue tak ada maknanya di mata papa. Rasa sesak di dada gue, kata-kata itu terdengar begitu menyakitkan. Air mata gue tumpah seketika. Gue bergegas menaiki tangga menuju ke lantai atas. Lebih tepatnya ke kamar gue.

Gue mengunci pintu kamar dan langsung merebahkan diri. Entah kenapa papa yang gue kenal dulu kini telah hilang. Papa yang sekarang bukanlah papa yang dulu.

"Anak tak tau di untung, lebih baik dulu papa tak menyekolahkanmu. Buang-buang uang saja, anak tak berguna." Kata-kata itu terus terngiang di telingaku.

"Apa gue salah, apa salahnya membela mama. Toh papa memang keterlaluan. Gue tak suka jika ada orang yang menyakiti mama sekalipun itu papa." gumamku terus menangis.

"Apa gue dan mama tak ada artinya di mata papa ? kenapa sikap papa berubah drastis ? ada apa dengan papa ? apa papa menyesal mempunyai anak seperti gue ? apa gue anak yang tidak berguna ? lalu untuk apa gue mempertahankan prestasi gue, jika semua itu tak ada artinya di mata papa." pertanyaan itu memenuhi pikiran gue.

Tok...tok...tok...

Tiba-tiba ada yang mengetukan pintu kamar gue. Pasti itu mama. Gue cepat-cepat menghapus air mata dan pura-pura membaca novel.

"Masuk, pintunya nggak dikunci." pekikku.

Benar dugaan gue ternyata itu mama. Mama menghampiri gue dan ikut duduk di kasur.

"Kata-kata papa nggak usah di masukkan ke dalam hati," ucap mama.

"Iya ma." balasku, seraya pura-pura membaca novel.

"Ma, Erlin anak yang nggak berguna ya ?" tanyaku serius.

"Jangan bilang gitu ih. Kamu anak kesayangan dan kebanggaan mama." balas mama.

"Ma, kata-kata Erlin ke papa memangnya salah ya ma ? Erlin cuma ngomong apa adanya ma. Mama bisa lihat sendiri, sekarang papa Erlin bukanlah papa yang dulu." ucapku.

Problematika Rasa [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang