Jeno menghentikan langkahnya tepat di tengah halaman istana, ia tersenyum tipis saat mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Sebelumnya ia hanya berjalan-jalan menikmati waktu senggangnya seorang diri dan entah apa yang membawanya ke halaman utama istana.
Sebenarnya Jeno telah memindahkan gerbang utama dan halaman utama ke sebelah timur istana di tahun ketiga ia menjabat sebagai raja, jadi halaman penuh kenangan ini hanya boleh dimasuki keluarga raja.Belasan tahun Jeno lewati bersama Renjun di istana ini, dan tempatnya sekarang berdiri adalah tempat yang sama dengan tempatnya berdiri empat belas tahun lalu saat beradu congkak dengan Qian Kun. Membawa ribuan pasukan, menghancurkan Rigel, dan bernegosiasi alot dengan Kun hanya untuk memenangkan Renjun yang mulutnya sepedas lada hitam.
Jeno merasa konyol sekarang, tapi ia tidak pernah merasa itu adalah hal sia-sia karena ia memenangkan sosok yang luar biasa. Memang butuh perjuangan untuk memetik teratai putih, kan?
Jeno melipat tangannya di depan dada lalu terkekeh, ia merasakan hawa keberadaan orang lain di halaman sepi ini. Ia menanti sejenak sebelum berbalik dan..
"Waaa!!"
Tawa Jeno pecah melihat dua bayi kesayangannya sedang mengendap-endap di belakang raja Rigel itu, namun sayang mereka gagal mengagetkan sang ayah.
"Baba tidak seru!" Protes di sulung yang diangguki si bungsu.
"Kalau kata Jisung hyung, itu namanya payah." Si bungsu bersungut-sungut kesal.
Jeno masih tertawa melihat wajah kesal putra kecilnya yang berusia empat tahun. Namanya Wonjin, wajahnya mirip sang ibu dengan ketegasan seorang Lee Jeno. Balita yang lahir empat tahun lalu itu adik kesayangan Chenle, sosok yang akan diangkat menjadi putra mahkota saat usianya sepuluh tahun, menggantikan sang Gege yang entah akan dibawa pangeran negeri mana.
Yang akan menggantikan Aldebaran suatu saat nanti.
"Apa yang kalian lakukan disini?" Tanya Jeno setelah berhasil menetralkan tawanya.
"Tidak tahu, Wonjin hanya ikut Gege."
Tatapan Jeno beralih ke Chenle yang sedang menunjukkan cengiran lucu. "Chenle dengar Baba punya waktu luang, jadi kami menyusul baba."
Jeno tersenyum, "kalian rindu baba?"
Jika Chenle mengangguk semangat maka Wonjin menggeleng pelan, "tidak, Wonjin hanya ikut Gege."
Jeno menaikkan satu alisnya, bocah ini memang mirip ibunya, lain di mulut lain di hati.
"Yang benar?""Iya.."
"Yang benar?" Jemari panjang Jeno bergerak cepat menggelitik perut gembul putra tampannya itu.
Tawa renyah keduanya terdengar memecah kesunyian halaman lama istana, menggema di lorong-lorong istana berbaur dengan tawa Chenle yang seperti lumba-lumba.
"Hahaha kata Jisung Hyung baba terlalu percaya diri ahahaha.."
Jeno tertawa melihat putranya berguling di rumput karena kegelian. "Jangan dengarkan Jisung hyung, nanti Wonjin jadi ompong seperti Jisung Hyung saat kecil."
"Ishh baba.. jangan seperti itu pada Jisung." Chenle protes karena Jisung terseret ke dalam pembicaraan mereka.
Bukannya menghentikan aksinya Jeno malah menarik Chenle untuk ia beri gelitikan. Mereka bertiga akhirnya berguling di rerumputan dan tawa mereka membaur menjadi satu di udara, membuat siapa saja yang mendengar tahu seberapa besar kebahagiaan ayah dan anak-anaknya itu.
Ya, yang paling sadar akan kebahagiaan Jeno dan dua putranya itu adalah Renjun.
Renjun terkekeh melihat tiga manusia yang paling ia sayangi itu berguling-guling di rumput dengan tawa keras. Ia kemari sebenarnya ingin menjemput kedua anaknya agar tak mengganggu waktu sendiri Jeno, tapi dibanding menikmati waktu sendiri sepertinya Jeno lebih suka waktu senggangnya dirusuhi dua putranya.
![](https://img.wattpad.com/cover/135776420-288-k291389.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Arcturus
FanfictionKetika Langit Arcturus Menjadi Saksi Bahwa Aku Mencintai Mu. NoRen - MarkMin - YukHae 19 Januari 2018 - 05 Juni 2020