Aldebaran - NoRen

56.6K 4.5K 593
                                    

Renjun menatap ayahnya tak percaya ketika dirinya dibawa masuk ke halaman istana tempat dimana ayahnya dan seorang pangeran penjajah bernegosiasi.

Wajah ayahnya tampak dipenuhi oleh luka-luka dan darah, panglima sekaligus pamannnya tergeletak penuh darah disisi ayahnya.

"Baba.."

Renjun berlari mendekat dan memeluk ayahnya erat. Suasana begitu hening saat Kun menatap Renjun sedih, Kun mengusap kepala Renjun penuh rasa bersalah.

"Baba tidak sanggup, terlalu banyak nyawa rakyat yang harus dikorbankan jika baba tidak menuruti permintaannya."

Renjun menangis dan menatap takut seorang pangeran dari negeri merah, kerajaan besar nan makmur, kaya dan kuat. Renjun tak heran ketika ayahnya yang seorang raja tunduk kepada seorang pangeran negeri lain, kerajaan merah bukanlah tandingan kerajaan kecil seperti negerinya.

"Apa yang dia minta?" Tanya Renjun lemah seolah tahu apa yang diminta pangeran tampan berbaju besi itu.

Kun menggeleng dan menangis dalam diam, ia tidak ingin melakukannya tapi ribuan rakyatnya membutuhkan perlindungan dan jaminan hidup di tengah krisis yang melanda. Penjajahan kerajaan merah adalah yang pertama dan semuanya telah hancur, Kun menyesal tak menerima pinangan sang raja pada Renjunnya.

"Diriku?" Tanya Renjun pelan.

Kun menatap Renjun sedih namun pemuda manis itu tersenyum lembut dan mengusap air mata yang membasahi wajah ayahnya.
"Lakukan baba, lindungi rakyat kita. Berikan aku padanya. Pada pangeran Jeno."

Kun menarik napas berat, seolah itu adalah tarikan napas terakhir dan akhirnya ia mengangguk.
"Maafkan baba."

Renjun tersenyum saat air matanya menetes. "Apa yang bisa dilakukan putra mahkota lemah seperti ku selain berkorban?"

"Renjun maafkan baba."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan baba, baba adalah raja yang baik. Terima kasih."

Orang yang menjadi sumber permasalahan segera turun dari kudanya yang besar dan sombong. Ia tersenyum miring saat apa yang ia inginkan akhirnya ia dapatkan. Ia ayunkan pedangnya sejenak sebelum ia melempar pedang platina itu seolah menjanjikan perdamaian.

Dia Lee Jeno.

Pangeran dari kerajaan merah, pangeran yang dijuluki Aldebaran. Agung, penuh arogansi, terang dan kuat. Kebanggaan kerajaan Arcturus si raksasa merah.

"Renjun, baba melepas mu untuk sang Aldebaran."

Renjun terisak pelan lalu mengangguk dan saat itu pula Kun berteriak dengan tegas hingga menggema ke seluruh sudut istana bahwa ia melepas Renjun sebagai hadiah perdamaian.

Senyum Jeno semakin lebar, tidak sia-sia ia berdebat dengan ayahnya untuk menyalakan api peperangan pada kerajaan Rigel. Jika Jeno tak dapat memiliki Renjun dari pinangan ayahnya bulan lalu maka ia akan memiliki Renjun sebagai hadiah perdamaian.

Renjun tersenyum tipis dan memeluk ayahnya untuk terakhir kali. Ia mulai melangkah mendekati Jeno yang merentangkan kedua tangannya saat sang ratu kerajaan Rigel, ibu Renjun berlari panik berusaha menggapai putra kecilnya.

"Renjun!!! Anakku!! Yang Mulia hiks! Selamatkan anak kita hiks!"

"Yang Mulia!! Hamba mohon!!! Renjun ku!!!!"

Renjun menatap ibunya sejenak dan tersenyum menguatkan dengan air mata yang ikut menetes.
"Mama, aku mencintai mu."

Jeno tersenyum mengejek ke arah Winwin saat ia berhasil merengkuh Renjun dalam pelukanya. Permaisuri itu menjerit tak terima, berteriak bahwa Jeno adalah iblis yang penuh kesombongan dan kejahatan.

"Kenalkan aku Lee Jeno, sang Aldebaran."

Renjun tidak bodoh dalam mengartikan nama Aldebaran yang disematkan pada diri Jeno. Aldebaran, bintang merah yang paling terang di rasi Taurus, berada tepat di kepala Taurus dan pengikut Pleiades.

Bintang yang begitu indah dan pantas untuk sombong dengan warna merahnya.

"Tapi aku bukan pengikut pleiades karena aku tunggal dan berdiri sendiri."

Renjun semakin mengeraskan isakkanya saat satu kearogansian Jeno keluar tepat sesaat ia dilepas oleh kerajaannya.

Benar dia Aldebaran yang agung. Yang merah penuh keangkuhan.

Jeno tersenyum dan mengangkat Renjun kedalam gendongannya. Serentak para prajurit membuka kereta kuda yang mereka bawa dari Arcturus, bahkan sebelum berperang Jeno telah percaya diri bahwa Renjun akan berhasil ia bawa pulang.

Renjun menatap takut para prajurit berbadan besar yang menjaganya, ia terisak dan tak mau melepas dekapan Jeno dan Jeno tersenyum sinis kearah Kun dan Winwin.

"Lihatlah bahkan anak kalian langsung menempel pada ku!!" Serunya.

Kun menggepalkan tangannya menahan amarah. Ia merasa gagal sebagai ayah sementara Winwin telah jatuh tak sadarkan diri.

"Kau akan baik-baik saja Renjun."

"Tidak! Biarkan saya naik kuda bersama anda!"

"Renjun!!"

"Yang Mulia!! Saya mohon!"

"Renjun aku tak suka dibantah!"

Renjun terdiam dan kembali menangis keras. Ia begitu takut dengan Jeno, Jeno terlalu berkuasa untuk ia bantah atau ia tolak.

Jeno menghela napas lelah dan ia menarik paksa jubah kerajaan yang Renjun kenakan dan saat jubah putih bersulam benang emas itu lepas Jeno melemparnya ke tengah halaman istana.

"Gunakan ini!!"

Dengan gemetar Renjun mengambil jubah sutera berwarna hitam dengan sulaman naga dan tulip merah itu lalu mengenakannya.

Jeno segera menarik Renjun keluar dari kereta dan membantunya naik ke kuda miliknya. Sebelum ikut naik Jeno membungkuk sekilas pada Kun.

"Terima kasih atas restu mu baba dan mama." Kata Jeno dengan nada mengejek.

Dan hari itu adalah hari terakhir Renjun melihat orang tuanya, menghirup aroma segar istananya dan hari terakhir ia menginjak negerinya, kerajaannya.



Tolong baca note diakhir ya

The ArcturusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang