☀️ Pelindung ☀️

848 55 1
                                    

Sudah seminggu gue di sini, gue jadi semakin dekat sama Rian. Yap, pak kapten yang menurut gue nyebelin karna manggil gue dengan sebutan 'ibu' itu udah jadi temen gue.

Awalanya gue risih, risih banget malah, tapi semakin sering gue sama dia gue jadi mulai terbiasa. Dia tau batasan antara cowok sama cewek, itu yang ngebuat gue jadi bisa nerima dia sebagai temen.

Gue harus banyakin stok sabar buat ngadepin sifat random dia. Kadang gombal, kadang cuek, sok manis, nyebelin, suka seenaknya juga. Tapi semua ketutup saat dia berusaha buat nolong gue tiga hari yang lalu.

Flashback

Gue baru aja selesai ngajar di salah satu sekolah yang da di sini, awalnya sih semua aman sampe gue ngerasa ada yang nimpuk gue pake kerikil, tapi gue ga ngeliat siapa pelakunya, gue terus jalan, makin lama kerikil yang kena badan gue makin banyak.

"Stop! Kenapa kalian melempari saya dengan batu?" kata gue setengah berteriak

Tapi omongan gue barusan ga dihiraukan, mereke terus aja ngelemparin gue pake batu, mereka berkumpul di depan gue. Masing-masing dari mereka bawa kerikil di tangannya. Mereka terus ngelemparin gue dan membuat gue ga punya kesempatan buat ngomong.

Mereka ngelempar sambil maki gue, kenapa gue tau? Ya karna sebelum gue dikirim ke sini, gue sempat belajar bahasa sini.

Gue takut, gue cuman bisa nunduk, gue ngelindungin kepala dengan kedua tangan.

Ayah, Kila takut ...

Ibu, kenapa mereka ngelemparin Shakila pake batu?

Mas Naufal, lindungin Shakila ...

Air mata udah dari tadi membanjiri kedua pipi gue. Mulut gue terus beristigfar dan meminta pertolongan kepada Allah.

Mata gue masih menutup rapat, gue terus menangis sampai ... gue sadar kalo batu itu udah gak lagi mengenai tubuh gue.

Gue memberanikan diri untuk membuka mata, gue melihat ada sepasang sepatu PDL di depan gue, seseorang sedang berdiri tepat di hadapan gue sekarang.

Mata gue membulat sempurna, tubuh gue kaku. Gue ngeliat Rian sedang tersenyum ke arah gue, mata gue memanas, dia membiarkan punggungnya terkena lemparan batu. Dia menggunakan tubuhnya sebagai tameng buat gue.

"Ke-kenapa lo lakuin ini?" gue kembali terisak

"Karna saya mau menjadi sayap pelindungmu."

Gue gak suka sikap Rian yang kayak gini, gue benci ketika harus ada seseorang yang tersakiti karna gue.

Gue kembali menangis, bahkan air mata gue lebih deras dari sebelumnya, mereke belum juga berhenti menyakiti Rian.

"Jangan menangis, saya tidak suka melihat mata kamu memerah karna terus mengeluarkan air mata"

"Gu-gue ... gue ga suka liat orang lain tersakiti karna gue ..."

"Saya tidak apa-apa, ini sama sekali tidak sakit"

"Bohong! Lo bohong! Muka lo merah, ga mungkin ga sakit, tubuh lo juga mulai bergetar"

"Saya tidak apa-apa, Zahra," Rian kembali tersenyum ke arah gue, bahkan semakin lebar. Gue kembali menunduk, gue ga menjawab ucapannya barusan, gue terlalu sibuk berdoa supaya ini semua cepat berakhir.

"Angkat kepalamu, anggota saya masih terus berusaha membantu kita. Tenang saja," katanya tenang

Gue mengangkat kepala, di depan sana gue ngeliat om Sersan dan anggota TNI lainnya sedang berusaha untuk meredam amukan mereka.

Gak berselang lama, akhirnya mereka bubar, para provokator ditangkap untuk diinterogasi.

"Bawa para provokator, kita akan interogasi mereka!" titah Rian pada anggotanya

"Siap!"

"Apa kamu terluka?" tanya Rian saat anggotanya telah pergi. Gue menggeleng, kembali mengeluarkan air mata, membuat Rian kaget dan panik

"Ke-kenapa kamu menangis? Apa ada yang sakit? Beri tahu saya!"

Gue terisak, "Harusnya gue yang nanya gitu. Apa lo terluka?" kata gue sambil menahan isakan, dia menggeleng sambil tersenyum

"Ini tidak sakit Zahra, saya biasa mendapat yang lebih dari sekedar lemparan batu kecil" gue kembali menangis

"Hentikan air mata Zahra, saya sangat ingin menghapusnya, tapi saya tau batasan" kata dia lembut

"Gu-gue cuman takut"

"Saya ada di sini sekarang, tidak akan ada yang menyakitimu lagi. Saya akan melindungimu." Dia berusaha meyakinkan gue kalo semua bakal baik-baik aja.

Sore itu gue sama Rian kembali melihat matahari terbenam bersama.

Jangan ngarep adegannya bakal kayak cerita yang lo baca di wattpad, di mana sang cowok mendekap erat si gadis berusaha menyalurkan kekuatan. Gue bahkan berdiri agak berjauhan sama Rian.

"Bu guru!"

"Bu guru Zahra!" suara seorang anak laki-laki mengagetkan gue

"Eh, Frans, ada apa?"

"Kenapa Bu guru melamun? Ada masalah kah? Tadi saya panggil panggil Ibu tra dengar"

"Ibu tidak apa-apa Frans. Kenapa kamu panggil Ibu?"

"Ada yang tunggu Ibu di sebelah sana. Sa disuruh panggil Ibu" Frans menunjuk ke arah lapangan

"Siapa?"

"Ibu disuruh langsung temui saja" Frans menggandeng tangan gue menuju lapangan tadi

Sebenarnya gue masih takut sama kejadian kemaren, tapi gue ga boleh berburuk sangka sama orang lain. Terlihat siluet seseorang, gue mendekat untuk melihat orang itu lebih jelas.

°°°°

Alhamdulillah


Ya ampun aku nulis ini greget bgt :(
Btw, aku gatau banyak tentang bahasa sana, jadi kalo ada yang salah koreksi aja ya :>

Prajurit Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang