☀️ Sakit Hati ☀️

632 32 1
                                    

Kini Ara sedang duduk termangu di pinggir tempat tidur. Ia mengingat saat Prada Arka menceritakan ke mana saja mereka selama ini dan apa saja yang telah ia dan Putra lewati selama dua bulan.

"Saat itu kami sedang menjaga bagian belakang, kami berdiri dekat aliran sungai. Kami lengah, dua peluru melesat mengenai saya dan Sertu Bintang ..."

"... saya terkena di lengan atas, sementara Sertu Bintang tertembak di bagian kaki. Kami terjatuh ke sungai yang saat itu sedang pasang. Sialnya itu adalah peluru bius, saya dan Sertu tidak bisa berenang dengan keadaan terbius ..."

"... kami terus terseret arus, hingga kami ditemukan oleh mereka. Anggota OPM itu masih berkeliaran di sekitar sungai. Kami dibawa lalu diikat layaknya tahanan. Selama dua bulan kami disiksa ..."

"... dada saya ditendang, kepala Sertu diinjak, hidung saya patah begitu juga tangan Sertu Bintang. Tubuh kami terus dibenturkan ke tembok atau benda tumpul lainnya ...."

'BRUTAL!' batin Ara memekik kala mengingat kalimat-kalimat itu

"Selalu begitu hingga dua bulan. Mereka mengancam akan membunuh kami jika permintaan mereka tidak dituruti. Padahal jika mereka membunuh kami pun, kami ikhlas ..."

"... hingga kami melihat celah untuk melarikan diri. Saat itu mereka sedang pergi berpesta, saya juga sempat mendengar pembicaraan mereka bahwa ada kompi lain yang ditugaskan di sini ..."

"...hanya ada dua penjaga yang berada di luar, kami menemukan beberapa sandra lain di ruangan yang berbeda. Kondisi mereka lebih baik dari kami, mereka membantu saya dan Sertu untuk melarikan diri, mereka mengikuti instruksi yang diberikan oleh Sertu Bintang ..."

"... saat misi melarikan diri, salah satu sandera terluka, jadi kami memutuskan untuk beristirahat hingga pagi tiba. Beruntung kami ditemukan oleh kompi C yang sedang mengintai anggota OPM itu."

Air mata Ara menetes, mendengar dan membayangkannya saja mampu membuatnya ketakutan.

Lebih baik ia segera tidur dan berharap bisa mimpi indah kali ini.

••••

"Walaikumsalam, Mah"

"Nanti sore kamu ke rumah ya, Nak, Angga akan pulang"

"Zahra ke rumah sakit aja ya, Mah. Zahra mau bantu beresin barangnya kak Putra"

"Enggak usah. Mamah tau kamu capek kan? nanti sore aja kamu ke sini, makan malam di rumah, ya"

"Iya, Mah"

Sambungan telpon terputus, Ara menghela napas kasar, berharap semua beban yang ia rasakan ikut terhempas bersama karbondioksida yang ia keluarkan.

Setelah hampir tiga minggu akhirnya Putra diizinkan untuk kembali ke rumah. Selama hampir tiga minggu pula Ara tidak pernah absen menjaga pria itu, ia menemani Putra dan menyambut teman-teman dari calon suaminya yang datang menjenguk.

Matanya kembali memanas kala ia mengingat perkataan Putra kemarin sore.

"Enggak, Mah. Dia bukan calon istri Angga!"

Hatinya perih, bibirnya bergetar menahan tangis, kakinya lemas bagaikan jelly.

Apakah ia bisa bertahan dengan semua ucapan pedas yang terlontar dari Putra? Entahlah terlalu sulit untuk membayangkannya.

-

Ara mengetuk pintu sambil mengucap salam lalu menunggu tuan rumah datang.

"Walaikumsalam. Sudah datang, Nak. Yuk masuk, kenapa cepet banget datangnya?" tanya Ratna

Prajurit Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang