"Gimana keadaanmu sekarang?"
"Alhamdulillah, udah lumayan baik."
"Huft ...." Arsel mengembuskan napas beratnya, dan menatap khawatir sang kembaran. "Kalo kamu gak kuat, kamu bisa minta izin pulang cepet."
"Aku udah gak pa-pa, kok, Sel."
"Tapi Sen ...," Arsel menggantung ucapannya dengan kedua obsidian hitam legamnya yang sudah berkaca-kaca, "aku khawatir. Nanti kalo kamu kambuh lagi kayak kemarin dan sampe kenapa-napa, gimana?"
Menyadari kembarannya itu mulai terisak, Arsen menarik tubuh mungil Arsel untuk didekapnya. Laki-laki berhidung bangir tersebut mengecup singkat pucuk kepala Arsel dan mengusap lembut punggungnya.
"Udah ya, Adek, jangan nangis lagi! Aku udah baik-baik aja sekarang, sungguh! Maaf ya, kalo aku sering banget bikin kamu cemas dan gak jarang nyusahin kamu karena kekuranganku itu."
"Kamu ngomong apa, sih?! Udah sepatutnya aku cemas, karena kita ini bersaudara! Apalagi sebagai kembaran, aku jadi bisa merasakan apa yang sedang kamu rasakan--walau sedikit. Dan, kamu gak menyusahkanku sedikit pun! Sekalipun iya, aku gak akan pernah merasa keberatan!"
Mendengar balasan sarat ketulusan itu, kedua mata Arsen ikut berkaca-kaca. "Tapi walau begitu, aku tetep bakal ngerasa bersalah, Sel."
"Berhentilah menyiksa dirimu sendiri dengan rasa bersalah yang berlebih, atas kesalahan yang sebenarnya nggak menyeretmu, Sen!"
"Sulit, Sel, sulit sekali rasanya. Sepertinya ... aku emang ditakdirkan untuk selalu ngerasa bersalah."
"Jangan ngomong gitu! Kalaupun seandainya kamu salah, kamu masih punya kesempatan. Dan kamu berhak mendapatkan kesempatan itu."
Arsen mengurai pelukan mereka, lalu kedua tangannya terulur guna menghapus jejak air mata Arsel. "Terima kasih, ya. Kamu selalu bisa menenangkan hatiku. Kamu sosok terbaik yang hadir di dalam hidupku setelah Ummi dan Abi, Sel.
"Aku sangat beruntung dan bersyukur, karena Allah menakdirkan kita terlahir sebagai saudara--lebih tepatnya karena Allah telah menakdirkan kamu untuk ada di dalam hidupku."
Arsen membawa kedua tangan Arsel yang gemetar hebat--sebab berusaha menahan tangis--ke dalam genggamannya.
"Kamu terlalu berharga bagiku, membuatku semakin takut kehilanganmu. Sel, jangan pergi dariku sebelum aku mengizinkanmu, ya? Tapi--sepertinya aku gak akan pernah bisa dan mau mengizinkanmu pergi dariku."
"Aku gak akan pergi! Kita berada di dalam rahim Ummi bersama, lahir bersama dan tumbuh besar bersama. Jadi, kita pasti akan terus bersama!"
Arsen memeluk saudari kembarnya lagi. "Sekali lagi, terima kasih. Ah, rasanya walau aku mengucapkan jutaan ucapan 'terima kasih' padamu, itu masih belum cukup untuk semuanya."
"Enggak, itu gak benar. Kamu bisa hidup bahagia dan kembali seperti dulu pun, aku sudah merasa sangat cukup bahkan lebih dari cukup. Jadi, cobalah untuk membebaskan diri dari kekangan masa lalumu dan membuka lembaran hidupmu yang baru, Sen.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SYaHS1] LoveMath | SELESAI✔
Romance[Spiritual-Young adult-Hurt] "Jadi, mau nggak, Ra?" "Enggak! 'Kan masih kecil." "Oh, berarti kalo udah gede, mau nerima?" "Mau, tapi ... dia harus bisa ajarin aku MTK dulu, sampe nilaiku dapet 100 semua." Orang-orang yang mendengar jawabanku tertawa...