♥Math 19 - Ekspektasi VS Realita

138 21 37
                                    

"Sen!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sen!"

Arsen tersentak saat aku memukul pelan bahunya. Hari ini, untuk pertama kalinya Arsen terlihat aneh. Lebih pendiam dari biasanya dan cenderung murung. Terkadang, ia memang agak tertutup, tetapi belum pernah sampai seperti ini.

"I--iya, kenapa?"

"Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Kok kaget banget dipukul pelan doang? Padahal biasanya biasa aja. Kamu juga keliatan panik dan takut banget," ucapku, tak mampu menahan diri lagi untuk tidak mengungkapkan isi hatiku.

"Enggak, nggak. Aku gak pa-pa, kok."

Jawabannya yang cukup singkat itu membuatku semakin yakin kalau tengah terjadi sesuatu padanya.

"Gak pa-pa apanya?! Tadi pas lari kamu lemes banget keliatannya, kayak yang susah napas juga. Dan nggak biasanya kamu udah keringetan sampe begini, cuma karena lari tiga putaran keliling lapangan. Kamu lagi sakit, ya?"

Ya, kami baru saja selesai berlari mengelilingi lapangan sekolah sebanyak 3 putaran. Dan Arsen yang biasanya masih bersemangat dan masih tampak kuat, tiba-tiba saja berubah keadaannya.

Wajahnya jadi agak pucat, tampak panik dan ketakutan. Juga selain terlihat begitu lemas, ia terlihat seperti orang yang kesulitan bernapas. Tak lupa dengan peluh yang sudah membanjiri kedua pelipisnya.

"Enggak Ra, aku beneran gak pa-pa, kok."

"Bohong! Kalo kamu emang gak mau ngasih tau yang sebenernya ke aku, cukup jawab aja … kamu lagi sakit atau nggak? Kalo kamu udah jawab dengan jujur, aku gak akan nanya-nanya lagi deh," putusku, tak ingin menyerah.

"Iya, aku lagi sakit."

Tatapanku yang menyipit sebab kesal karena awalnya ia terus mengelak, kini melunak.

Aku ber'oh'ria. "Oh …," Aku memberi jeda dua detik, "syafakallah. Laa ba'sa thahurun, Arsen. Semoga Allah memberikan kesembuhan padamu. Tak apa, semoga sakitmu ini menjadi penawar dosa-dosamu, Arsen."

Arsen melirikku sekilas sambil mengembangkan senyuman tipis sebelum menjawab, "Aamiin. Makasih ya, Ra."

Aku pun membalas senyumannya dengan singkat--karena ia sudah tak menatapku lagi. "Aamiin. Iya, sama-sama."

"Arsen!"

Aku refleks menoleh ke arah Arsel yang tergesa-gesa menghampiri kami dengan wajah yang tampak amat cemas.

Sebenarnya Arsen sakit apa, ya? Sakit tipes, kah? Kalau iya, mengapa ia masuk sekolah dan tidak dirawat di rumah sakit, atau minimal istirahat di rumah saja? Atau setidaknya, ia bisa izin dari jam pelajaran PJOK--yang memang diadakan di luar jam KBM, 'kan?

"Kok kayaknya ada yang agak aneh, ya? Ah, bukan kayaknya dan agak aneh lagi, tapi emang dan sangat aneh!"

"Nih, minumnya!"

[SYaHS1] LoveMath | SELESAI✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang