[Spiritual-Romance]
"Jadi, mau nggak, Ra?"
"Enggak! 'Kan masih kecil."
"Oh, berarti kalo udah gede, mau nerima?"
"Mau, tapi ... dia harus bisa ajarin aku MTK dulu, sampe nilaiku dapet 100 semua."
Orang-orang yang mendengar jawabanku tertawa.
Tiba-ti...
-Bintang di pojok kiri bawahnya jangan lupa dipencet, ya!
“Membuat kesalahan itu tak apa. Asal jangan sampai mengulanginya, apalagi tak menyesalinya, tetapi bukan berarti harus terus terpuruk dalam kubangan penyesalan, 'kan?” 📚📌LoveMath📍📊 -fa_mujahiddah11-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mengapa di saat aku sudah mulai menyadari perasaanku, kamu malah bersikap seakan telah menyingkirkan namaku dari hatimu?"
Kedua netraku yang menyorotkan kesenduan memusatkan atensi pada swastamita[1] di depan sana, dengan tangan kanan dan kiri yang tenggelam di dalam saku celana.
"Mungkin sejak awal, seharusnya aku nggak menyukai seseorang. Karena pada akhirnya selalu saja begini. Dulu, aku menyukai dia yang pernah mengisi masa-masa remaja awalku.
"Dia yang selalu menebarkan kebahagiaan dengan canda tawanya. Dia yang selalu menebarkan kehangatan dengan kebaikan dan kelembutannya. Dan dia yang selalu bisa menipu banyak mata.
"Bibir tipisnya yang selalu pucat dan kering itu senantiasa menampakkan senyuman, walau kedua matanya menyorotkan luka dan kedukaan.
"Tubuhnya yang terlalu kurus itu selalu bergerak ke sana-kemari dengan lincahnya, seolah-olah gak ada sedikit pun "masalah" yang membebani kedua pundak rapuhnya."
Ketika ingatan mengenai dirinya kembali terngiang di kepala, aku menengadahkan pandangan agar buliran hangat bening bernama air mata tidak menganak-sungai di pipiku.
"Sha, percuma saja kamu menutupi kesedihanmu … percuma! Walau sikap yang kamu tampilkan menunjukkan bahwa kamu bahagia, tapi keadaan fisikmu gak bisa berbohong, Sha!
"Aku tahu senyumanmu itu palsu, sangat palsu! Gimana bisa kamu tersenyum dengan keadaan bibir yang tampak seperti orang sakit seperti itu? Gimana bisa kamu tersenyum dengan keadaan mata yang selalu sembap dan menyorotkan saratnya luka seperti itu?
"Sebesar dan setebal apa pun gamis yang kamu pakai, aku tetap sudah tahu, kalau di balik handsock hitammu itu … tanganmu sangat kurus, sangat kurus sekali."
"Sha, Sen, itu daging ayamnya tolong jagain dulu, dong, takut dilaletin! Sekalian ditepungin, ya! Kami mau goreng yang ini dulu."
"Oke!"
Ia menggulung handsock hitamnya sampai ke atas pergelangan tangan, membuatku segera mengalihkan pandangan. Namun, saat menyadari bahwa aku baru saja melihat ada hal yang aneh, aku memberanikan diri untuk memandangnya lagi.
Benar saja, aku tidak salah lihat, tadi. Kedua pergelangan tangannya, memang sekurus itu, padahal porsi makannya hanya agak lebih sedikit dari Arsel.