Bab 47 (Pagar Kenangan)

102 8 10
                                    

Isak tangis memenuhi ruang tamu di kediaman Zakky Ibrahim Wijaya. Mengingat sosok almarhumah yang baik tentu saja banyak yang merasa kehilangan. Zakky masih terdiam dengan mata yang rasanya sudah kering ini.

Bi Anni, Mbok Niar, Riska, dan karyawan rumah lainnya juga turut menangis. Mereka merasa tidak percaya bahwa majikannya yang pandai bercanda itu begitu cepat meninggalkan dunia ini. Devi adalah majikan paling difavoritkan oleh penghuni rumah. Dia memang majikan tapi tidak diskriminatif, justru menganggap siapa saja setara dengannya tak peduli profesi apapun yang dimiliki.

Tak lupa rekan kerja Devi maupun Zakky pun satu persatu berdatangan dan isak tangis semakin memenuhi ruangan.

Zakky memilih pergi menyendiri ke kamarnya, dia betul-betul memerlukan suasana yang tenang agar rasa sedihnya bisa sedikit berkurang meskipun hal ini sebenarnya tidak berpengaruh sama sekali.

"Ky," panggil Pak Effendy yang baru kembali dari makam, sementara itu Bu Effendy kembali pingsan karena kejadian ini sangat mengagetkan dan dia tidak bisa menerimanya begitu saja.

Zakky sengaja langsung memakamkan istrinya agar keadaan jenazah yang sudah tidak bisa diidentifikasi itu tidak dilihat oleh orang lain. Walaupun demikian, istrinya masih tetap menjadi wanita paling cantik nomor satu di hatinya.

"Ayah." Zakky langsung memeluk mertuanya itu, dia merasa sangat sedih sekali dan membutuhkan penenang dari orang terdekat. Tangis Zakky kembali pecah dipelukan mertuanya.

"Tidak apa-apa, menangis saja. Seorang pria boleh menangis, tangisan bisa membuatmu lebih tenang."

"Maafkan Zakky Yah."

"Berhenti meminta maaf, semua ini bukan salahmu. Ini sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Kapan pun, dimana pun, dan dengan cara apa pun kematian itu sudah tertulis dalam takdir-Nya."

Pelukan mereka mulai terlepas, rasa bersalah yang Zakky rasakan sedikit berkurang. Meskipun masih ada rasa bersalah lainnya, dia telah menghiraukan kebahagian istrinya dengan cara membatasi gerak-geriknya, menyewa bodyguard yang sebetulnya tidak diinginkan oleh Devi. Terlebih lagi Eddy hilang entah kemana padahal dia amat mempercayakan Devi padanya.

"Dimana orangtuamu?" tanya Pak Effendy.

"Mama dan Papa sedang dalam pesawat menuju Jakarta, keduanya memang sedang dalam perjalanan bisnis. Sebentar lagi mereka akan sampai, Ayah jangan khawatir."

"Mereka pun pasti merasa sedih, kamu harus kuat agar orang di sekitarmu ikut kuat dalam menghadapinya. Kamu lihat di luar sana, banyak sekali yang menyayangi Devi."

"Iya, bahkan mama pun sempat pingsan mendengar informasi ini."

"Sebaiknya kita keluar dan menemui para pelayat, Ayah duluan."

Biar bagaimana pun juga Zakky harus menerima kenyataan ini dan bersabar atas takdir yang terjadi. Dia harus bangkit dan melanjutkan hidup. Pria ini mulai membuka pintu kamar yang sempat tertutup oleh Ayah mertuanya tadi.

"Kamu yang sabar ya Ky." Emma langsung menghambur memeluk Zakky.

Pelukan ini memang tidak sehangat seperti pelukan istrinya namun berhasil mengusir sedikit rasa sedihnya.

"Terima kasih Emma."

Emma mulai melepaskan pelukannya.

"Tunggu dulu, biarkan seperti ini sebentar saja," cegah Zakky.

Terlukis kenangan Devi yang memeluknya dengan erat, istrinya suka sekali memeluk Zakky seperti ini. Apalagi selama waktu tidur mereka selalu berpelukan satu sama lain.

***

Angin berhembus menggugurkan daun di pepohonan. Kesejukan yang dirasakan sudah tak sama seperti dulu. Rasanya berbeda karena setengah hati dari pria bernama Zakky itu hilang meninggalkannya. Sakit memang, semoga saja waktu bisa mengobati segalanya.

Dream Zone: Wake Up (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang