24 - Khawatir

1.3K 260 2
                                        



Saat bel pulang berbunyi, hujan masih mengguyur namun tidak sederas tadi. Murid-murid kelas 10. C memilih untuk pulang saja sambil bermain hujan-hujanan, toh mereka sudah pada basah.

Termasuk Kara, gadis itu berjalan menelusuri koridor yang cukup ramai bersama Dimas, Karin dan juga Bagas. Diantara keempat orang itu, yang seragamnya masih kering hanyalah Dimas seorang.

Kara, Karin dan Bagas seragamnya basah, dan mereka menjadi pusat perhatian di sepanjang koridor kelas.

Namun mereka tidak peduli, mereka berempat masih berjalan bersama menuju parkiran sekolah.

"Rin, pulang sama siapa?" Tanya Bagas.

Karin menoleh, "sendiri. Di jemput sih sama supir." Jawabnya.

Bagas tersenyum, "pulang sama gue aja, yuk!" Ajaknya.

"Emang boleh?"

"Kenapa enggak boleh?"

"Ya udah, ayok!"

Bagas tersenyum lagi, senyumannya benar-benar terlihat manis. "Dimas, Kara. Gue sama Karin duluan, ya!" Pamitnya.

Kara dan Dimas pun menganggukkan kepala, "hati-hati." Ucap mereka.

Akhirnya Bagas dan Karin pun pergi, menyisakan Kara dan juga Dimas yang masih berjalan santai di koridor.

"Mereka lagi PDKT apa gimana?" Tanya Dimas penasaran.

Kara mengangkat bahunya tidak tahu, "mungkin. Tapi di kelas Bagas usilin Karin mulu." Katanya.

"Biarin lah, nanti di kelas jadi ada couple baru." Celetuk Dimas.

Kara hanya terkekeh, mereka berdua pun akhirnya sampai di parkiran sekolah. Hujan masih turun, namun kali ini tidak deras seperti tadi.

Mata Kara tiba-tiba melihat Anka yang sedang mengeluarkan motornya, gadis itu hendak menyapa, namun terurung ketika melihat Anka menampilkan ekspresi datar, bahkan dia tidak menoleh ke arah Kara sama sekali.

Kara menghela napas, sedangkan Dimas yang melihat itu hanya bisa menepuk puncak kepala Kara dengan lembut.

"Jangan terlalu dipikirin, lo pulang hati-hati." Pesan Dimas.

Kara mengangguk, ia pun menghampiri sepedanya yang terparkir, setelah itu ia menuntunnya menuju gerbang sekolah yang sudah tidak terlalu ramai.

Baru saja Kara hendak menaiki sepedanya, tiba-tiba suara tabrakan terdengar sangat nyaring, membuat Kara dan orang sekitar terkejut bukan main.

Jantung Kara rasanya akan lepas, ketika melihat siapa yang baru saja ditabrak oleh sebuah mobil sedan sehingga motor dan pengendaranya terjatuh ke aspal.

"ANKA!"







🌟🌟🌟


"Gue enggak pa-pa, lo pulang aja sana."

"ENGGAK PA-PA APANYA?!"

Kara berkata ngegas kepada Anka. Cowok itu kini sedang terbaring di kasur rawat, terdapat infus ditangannya, kepalanya diperban, begitupula dengan tangan kanannya.

Pulang sekolah tadi, Anka tertabrak oleh sebuah mobil sedan. Padahal Anka dan motornya sedang diam di pinggir jalan, tetapi ada sebuah mobil yang menabraknya dari belakang secara tiba-tiba. Hal itulah yang mengakibatkan Anka dibawa ke rumah sakit.

Si pemilik mobil sedan sudah bertanggung jawab, ia membiayai perawatan Anka di rumah sakit dan ia akan memperbaiki motor Anka yang cukup rusak.

Sebenarnya tadi ada beberapa guru yang menemani Anka saat dibawa ke rumah sakit, namun mereka sudah pulang karena ini sudah malam.

Tidak termasuk dengan Kara dan Dimas, mereka berdua masih betah berada di ruang rawat Anka. Menemani Anka yang sendirian.

"Ini cuman lecet doang,"

"Lecet pala lo! Itu kepala lo sampe diperban gitu lo bilang cuman lecet? Otak lo jadi geser gara-gara ketabrak, ya?" Tanya Dimas kesal. Ia juga sebenarnya cukup khawatir dengan temannya ini. Ya, meskipun Anka dan Dimas tidak terlalu dekat, namun tetap saja Dimas sangat peduli kepada temannya itu.

"Kalian pulang aja, ini udah malem. Kalau diculik kalong bisa berabe." Kata Anka sambil mengambil buah apel yang berada di atas meja samping kiri kasurnya menggunakan tangan kiri.

Cowok itu pun asik memakan apel, membiarkan Kara dan Dimas yang masih berdiri di samping kanannya.

Namun Dimas menjauh saat tiba-tiba ada telepon. Cowok itu kini sedang berbicara di telepon entah dengan siapa, namun yang pasti kini tinggal Anka dan Kara yang saling diam.

"Ka," panggil Kara.

"Hmm?"

"Sakit enggak?"

"Enggak."

"Mau gue jedotin tuh kepala biar sakit?" Tawar Kara.

Anka menoleh, "boleh."

Kara mendengus kesal, "jangan sok kuat deh, Ka! Gue tau lo sakit! Lo juga butuh temen, enggak usah pura-pura. Gue di sini siap nemenin lo, jadi please jangan suruh gue pulang." Mohonnya, ia menatap Anka khawatir.

Anka menghentikan gigitan pada apel merahnya, ia kemudian menelan sisa apel yang ada di mulutnya dengan pelan.

"Anka, gue khawatir."

Kali ini Anka menatap manik mata Kara. Matanya menyorotkan kekhawatiran yang sangat tulus.

Kara benar-benar mengkhawatirkan Anka, rasanya dia tidak mau pergi meninggalkan Anka. Kara tahu, cowok itu membutuhkan seseorang, oleh karena itu Kara ingin tinggal.

Di sini Anka tidak mempunyai siapa-siapa, tidak ada orang yang bisa Anka jadikan untuk tempat bersandar. Anka sudah tidak mempunyai siapa-siapa, neneknya berada di luar kota.

Ia benar-benar sendirian.

Hal inilah yang membuat Kara bertekad untuk menemani Anka saat ini. Kara tidak peduli, meskipun seragamnya masih sedikit basah dan rambutnya acak-acakan, ia akan tetap tinggal di sini untuk menemani Anka.

"Ra, pulang yuk! Ini ayah gue udah nelpon, katanya dia baru pulang dan di rumah sendirian. Maklum dia duda, jadi butuh temen." Ajak Dimas diakhiri cengirannya.

Kara menggeleng, "lo pulang duluan aja, Mas. Gue mau di sini dulu."

"Lo yakin?" Tanya Dimas.

Kara mengangguk.

"Mending lo juga pulang, nanti papa lo nyariin." Sahut Anka.

Kara tetap menggelengkan kepala. "Gue mau di sini."

"Mau ngapain? Mau jagain Anka sampai jadi mayat?" Celetuk Dimas membuat Kara melayangkan tabokannya di tangan cowok bermata sipit itu.

Sedangkan Anka sudah melotot tajam, "awas aja lo, kalau gue udah sembuh auto gue cekek sampe mati." Balas Anka tajam.

Dimas nyengir, "bercanda. Ya udah, kalau gitu gue pulang duluan. Nanti jam sembilan atau jam sepuluh gue jemput lo, Ra." Kata Dimas.

"Enggak usah, nanti gue pulang sendiri aj-"

"Enggak ada penolakan, pokoknya jangan pulang sebelum gue ada, oke!" Kata Dimas membuat Kara mengangguk pasrah.

Akhirnya cowok gondrong bermata sipit itu pun pergi meninggalkan ruang rawat. Kini tinggalah Anka dan Kara berdua di ruangan berbau obat-obatan ini.

Kara menatap Anka, begitupula dengan Anka yang menatap Kara.

Kara tersenyum tipis, "maafin gue. Dan untuk sekarang, izinin gue buat jagain lo."






🌟🌟🌟





Jangan lupa vomment ya, guys!

Mampir juga ke cerita aku yang lainnya. Oke!

ANKARA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang