Hari kamis, Kara berada di rumah. Ia tidak sekolah karena sekarang adalah tanggal merah.
Gadis itu menuruni tangga untuk pergi ke dapur, dan ia bersyukur karena tidak menemukan Besta berada di sana.
Pasti ayahnya itu masih tertidur pulas di dalam kamarnya.
Akhirnya Kara mengambil segelas air putih, setelah itu ia pergi keluar rumah ketika mendengar suara tukang sayur berada di depan rumahnya.
Gadis yang memakai celana training dan kaos merah itu pun pergi keluar rumah, dan tersenyum kala menemukan tukang sayur langganannya.
"Hai, bang Imin!" Sapa Kara saat keluar dari gerbang rumahnya.
Pria muda yang lebih tua dari Kara itu tersenyum, "hai juga neng, Kara. Belanja nih?"
Kara mengangguk, ia pun mulai memilah-milih sayuran segar yang ada di dalam gerobak bang Imin.
"Iya, dong!"
"Enggak sekolah, neng?"
"Libur bang, 'kan tanggal merah."
Bang Imin manggut-manggut, "oh, pantesan." Balasnya.
Terjadi keheningan diantara Kara dan bang Imin. Kara sedang sibuk memilih sayuran, sedangkan bang Imin memilih untuk duduk di sebuah kursi kayu yang berada di dekat rumah Kara tepat di bawah pohon rindang sambil menghitung penghasilannya hari ini.
Saat Kara memegang sayur kangkung, tiba-tiba ada seorang cowok berambut gondrong yang sedang mengulum sebuah permen bergagang datang.
Kara menoleh dan menemukan Dimas, "ngapain, Mas?" Tanya Kara heran.
Dimas menoleh, "maling sayur." Jawab Dimas sekenanya.
Kara terkekeh geli, "kek ibu-ibu aja beli sayur."
"Gue terpaksa beli sendiri, soalnya mbok Lili lagi pergi." Jelas Dimas dan ikut memilih sayuran yang akan di beli.
Kara pun manggut-manggut mengerti.
"Tapi gue bingung mau beli apaan." Celetuk Dimas, "bisa masak aja kaga." Sambungnya.
"Sehat lo?"
Celetukkan yang datang tiba-tiba itu membuat Kara maupun Dimas menoleh ke belakang, mereka pun menemukan Anka yang memakai sendal jepit sambil membawa tas belanjaan berbahan kain.
Cowok tinggi itu berdiri di samping Kara.
"Muncul mulu lo cabe." Kata Dimas malas, ia mengambil sekantung tahu.
Anka memutar bola matanya jengah, cowok itu kemudian mengambil sayur bayam dan beberapa kentang berukuran besar.
"Lo juga belanja?" Tanya Kara tidak percaya.
Anka menoleh, "kenapa? Enggak boleh?"
Kara menggeleng, "aneh aja gue liat cowok beli sayuran kek gini. Ternyata anak kelas gue pada berbakti, ya." Celetuknya bangga, gadis itu menepuk pundak Anka dan Dimas secara bersamaan.
Sampai akhirnya terjadi keheningan, karena mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
"Kamu tuh jadi cewek, kali-kali harus belanja sayuran! Tuh liat! Mereka aja enggak malu!"
Celetukkan ibu-ibu mengalihkan perhatian Dimas, Kara maupun Anka. Mereka bertiga menemukan Jeni bersama seorang ibu-ibu sedang berjalan ke arahnya.
"Siapa yang bilang malu? Jeni enggak malu, tau, bu!"
Bu Jeje memukul bokong Jeni, membuat gadis itu meringis dan menatap ibunya dengan kesal.
"Kalau enggak malu, jangan diem di rumah mulu! Kali-kali bantuin ibu!" Bu Jeje memelototi putri satu-satunya itu.
Jeni mendumel kesal, gadis itu berdiri di samping Dimas sambil bersungut-sungut.
Bu Jeje yang berdandan rapi itu mengambil sayur kangkung dan menunjukkannya ke depan wajah Jeni.
"Ini kangkung!"
Bu Jeje kemudian mengambil sayur bayam.
"Ini bayam!" Ujarnya memberi tahu kepada Jeni. "Kamu tuh anak gadis harus tau nama sayur-sayuran! Di bilang beli kentang malah beli ubi! Picarekaneun mitoha kituteh! (Bisa diomelin mertua yang kayak gitu tuh)."
Bu Jeje menyimpan kembali sayur-sayuran itu ke atas gerobak, "make up aja yang kamu tau! Emang kamu mau makan make up?!"
Jeni menatap ibunya sebal, "udah dong bu, iya ini Jeni mau beli! Ibu kalau mau arisan, arisan aja sana,"
Bu Jeje kemudian mengeluarkan uang dari dalam tas dan memberikannya kepada Jeni, "awas aja kalau salah beli sayuran!" Ia melotot.
Jeni mengangguk sambil menerima uang pemberian ibunya, "iya, enggak!"
Akhirnya Bu Jeje menoleh ke arah teman-teman Jeni yang sedang berusaha mati-matian untuk menahan tawa. Melihat Bu Jeje menatap ke arah mereka, otomatis mereka langsung pura-pura sibuk dan pura-pura tidak mendengar omelannya.
"Eh, ini temennya Jeni? Rajin banget pagi-pagi beli sayuran." Suara bu Jeje mendadak lembut.
"Saya Kara, bu. Teman sekelas Jeni."
"Saya Dimas."
"Anka."
Ketiga orang itu memperkenalkan diri, membuat Bu Jeje tersenyum ramah.
"Saya Bu Jeje, ibunya Jeni. Kalau begitu, saya pamit pergi dulu ya. Kali-kali kalian mampir lah, ke rumah, jangan malu-malu." Ujar bu Jeje yang masih tersenyum.
Jeni yang mendengar itu menggerutu sebal, gadis itu mengambil sayur kangkung dengan kesal.
Akhirnya bu Jeje pun pergi meninggalkan para anak muda yang berkumpul di gerobak sayur itu.
"Sumpah, Je? Lo pernah salah beli kentang?" Kara bertanya penasaran saat bu Jeje sudah menjauh.
Jeni melirik Kara dengan kesal, "kenapa? Mau omelin gue juga?"
Kara terbahak, "enggak lah. Tapi gue pengen ngakak, masa kentang bisa ketuker sama ubi?"
Dimas mengambil kentang berukuran besar dan ubi kuning yang sama besar, ia membandingkan keduanya. "Hampir mirip sih," ujar Dimas sambil menatap keduanya.
"Jelas-jelas beda. Kalau kentang tuh lebih bulat, kalau ubi lebih lonjong. Warna dalemnya juga beda." Jelas Anka yang kini sedang membayar belanjaannya kepada bang Imin.
Cowok berkaos krem itu kemudian menatap Dimas.
"Persamaannya cuman satu. Luarnya burik kayak lo."
🌟🌟🌟
Tinggalkan jejak oy! Biar semangat updatenya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
ANKARA (COMPLETE)
Teen FictionKara kira menjadi Ketua Kelas adalah tugas yang sangat mudah. Sehingga ketika ada pemilihan Ketua Kelas ia mengajukan diri dengan percaya diri. Namun ia bersaing dengan Anka, cowok pinter yang katanya cinta sama matematika. Anka ingin menjadi Ketua...