27 - Nasehat

1.2K 259 5
                                    







"Perasaan gue kok enggak enak ya, Ka?"

Kara yang sedang mengupas kulit jeruk menatap Anka yang duduk di sebelahnya. Dua remaja itu sedang duduk di sebuah sofa panjang yang ada di ruang rawat.

Anka bosan karena diam terus di atas kasur, sehingga ia memilih untuk duduk di sofa bersama Kara.

"Kenapa emangnya?" Anka bertanya sambil mengambil jeruk pemberian Kara.

"Kayak enggak enak aja gitu," ucap Kara membuat Anka mengerutkan dahi.

Kara cukup sulit untuk mendeskripsikan perasaannya sekarang.

"Kelamaan bolos jadinya gitu." Celetuk Anka dan memasukan jeruk manis ke dalam mulutnya.

Kara mendengus, ia ikut memakan jeruk yang baru saja dikupasnya.

"Lo harus makan banyak buah, biar cepet sehat." Kata Kara kemudian, kali ini ia memberikan sebuah apel merah kepada Anka.

Anka menerimanya dan mengangguk patuh.

"Terus lo udah minum obat?" Tanya Kara.

Anka mengangguk lagi.

"Cepet sembuh, biar bisa sekolah lagi. Biar lo bisa omelin gue sama anak-anak." Ujar Kara, ia bersandar pada sandaran sofa sambil menikmati jeruknya lagi.

Anka yang hendak menggigit apel itu diam-diam menyunggingkan senyuman. Entah mengapa saat bersama Kara, Anka tidak merasa kesepian. Sejak Kara menemani dirinya di rumah sakit, Anka merasakan perhatian Kara yang jarang-bahkan sudah tidak pernah Anka dapatkan.

"Anka,"

"Hmm?"

"Gue mau minta maaf,"

Anka menolehkan kepalanya ke arah Kara yang masih bersandar, mata gadis itu menatap jeruk yang dipegangnya.

"Lo lagi ngomong sama jeruk?" Sindir Anka membuat Kara mendongak.

Kara mendengus, gadis itu akhirnya memposisikan duduknya menjadi menghadap ke arah Anka, matanya menatap Anka dengan dalam.

"Gue mau minta maaf." Ulang Kara sungguh-sungguh.

"Untuk?"

Kara terdiam beberapa saat.

"Gue tuh enggak pantes buat jadi ketua kelas. Harusnya dulu, lo aja yang jadi ketua kelas. Lo bener, gue itu sama-sama bobrok, gue enggak pantes jadi pemimpin." Tutur Kara, terselip nada penyesalan di ucapannya.

Anka menyimpan apelnya ke atas piring, ia menatap Kara yang sedang menunduk, "sebenarnya lo bukan enggak pantes jadi ketua kelas, lo cuman belum siap. Untuk menjadi ketua kelas, lo harus tegas, bertanggung jawab dan disiplin. Gue yakin lo bakalan jadi ketua kelas yang baik, Kara. Lo cuman perlu belajar bagaimana caranya menjadi pemimpin yang baik."

"Mungkin lo masih takut sama temen-temen kalau lo larang ini itu, jadinya lo enggak bersikap tegas ke mereka. Tapi lo harus ngambil keputusan yang tepat, lo harus tegas kalau mau jadi ketua kelas. Ini bukan tentang perasaan mereka, tetapi ini tentang bagaimana nantinya mereka. Kalau lo mikirin perasaan mereka terus, kita semua enggak bakalan maju. Sekali-kali lo harus tegas, mereka juga pasti bakalan ngerti kalau lo ngasih penjelasan yang jelas." Tutur Anka panjang lebar.

Kara diam mendengarkan, sekali-kali gadis itu menyuapkan jeruk ke dalam mulutnya.

"Gue yakin lo pasti bisa. Mulai sekarang lo harus ajak anak-anak buat ngelakuin hal yang positif dan bermanfaat. Gue sebagai wakil ketua kelas bakalan bantuin lo, asal lo ngomong aja sama gue. Kalau lo kesusahan lo tinggal bilang sama gue." Ucap Anka lagi.

Kara menganggukkan kepalanya pelan. Ia masih merasa tidak enak terhadap Anka. Kara masih merasa tidak pantas untuk menjadi seorang ketua kelas.

Jangankan untuk memimpin anak-anak kelas 10. C, memimpin dirinya sendiri saja sudah sulit.

Kara sebenarnya sedikit menyesal karena dulu ia tidak menyerahkan jabatan ketua kelas kepada Anka yang sudah berpengalaman.

Anka menepuk puncak kepala Kara dengan pelan, membuat Kara yang sedang sibuk dengan pikirannya itu mendongak. Mata mereka pun bertemu, membuat jantung Kara dengan tiba-tiba berdegup dengan kencang.

"Jangan nyesel dan jangan jangan takut. Lo pasti bisa."



🌟🌟🌟

"Ya ampun Anka, cucu nenek gimana keadaannya sekarang?"

Anka dan Kara mendongak saat melihat seorang wanita paruh baya datang menghampiri mereka.

Anka tersenyum melihat neneknya datang, tanpa diminta Anka langsung bangkit dari duduknya di sofa dan memeluk neneknya cukup erat.

"Anka udah baikan sekarang, nek. Maaf gara-gara Anka nenek jadi jauh-jauh datang ke sini." Ucap Anka sedikit tidak enak.

Nenek Anka yang bernama Aisyah mengelus kepala Anka dengan sayang.

"Nenek khawatir banget sama kamu, Anka. Harusnya kamu bilang dari awal kalau kamu itu kecelakaan, jadi nenek bisa langsung pergi ke sini." Nenek Aisyah menatap Anka dengan khawatir.

Sebenarnya Anka memberitahukan jika ia kecelakaan kepada neneknya itu kemarin. Ia tidak memberitahunya awal-awal karena takut neneknya terlalu panik.

"Sekarang Anka udah sehat, nek. Besok juga bisa pulang." Kata Anka menenangkan.

Nenek Aisyah pun bernapas lega.

Tiba-tiba Kara datang, ia menyalami tangan keriput nenek Aisyah dengan sopan.

"Selamat siang, nek." Sapa Kara.

Nenek Aisyah menatap Kara sambil tersenyum., "siang. Ini siapa ya?"

Kara tersenyum manis, "saya Kara, nek. Temennya Anka" Jawabnya.

"Dia nemenin Anka dari pertama Anka masuk rumah sakit, nek. Bahkan dia rela bolos." Sambung Anka sambil melirik Kara.

Kara hanya tersenyum kikuk, malu sendiri mendengar kata bolos.

Nenek Aisyah pun melebarkan senyumannya, "oh iya-iya. Makasih banyak ya, Kara. Kamu baik banget mau nemenin Anka sampai sekarang. Maaf ya, nenek baru dateng. Maaf juga udah ngerepotin Kara."

"Ah, enggak kok, nek."

"Dia mah seneng bolos, nek." Celetuk Anka membuat Kara melotot.

Nenek Aisyah hanya tersenyum.

Akhirnya nenek Aisyah dan Kara pun berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Sedangkan Anka izin pergi ke toilet yang ada di ruangan ini.

Sepeninggal Anka, nenek Aisyah dan Kara duduk di atas sofa. Nenek Aisyah menaruh keranjang buah yang dibawanya ke atas meja, kemudian nenek Aisyah menatap Kara yang masih menampilkan senyuman terbaiknya.

"Kamu satu sekolah sama Anka, ya?" Tanya nenek Aisyah memecah keheningan.

Kara pun mengangguk, "iya, nek. Kami satu kelas."

Nenek Aisyah tersenyum, "ah, syukurlah. Nenek seneng kalau Anka punya temen baik kayak kamu. Kemarin nenek khawatir pas denger Anka kecelakaan. Nenek takut dia sendirian di rumah sakit. Tapi untunglah ada kamu yang jagain. Sekali lagi terima kasih ya, Kara." Nenek Aisyah mengusap bahu kanan Kara dengan pelan.

Kara pun mengangguk sambil memegang tangan keriput nenek Aisyah, "sama-sama, nek. Nenek jangan khawatir ya? Kara bakalan temenin Anka dan enggak akan ninggalin Anka, kok." Ucapnya sambil tersenyum tulus.

Nenek Aisyah pun tersenyum lega, ia senang karena masih ada orang yang peduli kepada Anka yang merupakan cucunya.




















🌟🌟🌟







Wahai readers:)
Tolong tinggalkan jejakmu:)
Biar aku semangat gitu, wehhhh:)



ANKARA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang