01 - Sepuluh C

2.8K 410 29
                                    

SMA Mentari merupakan sebuah sekolah swasta yang terkenal dengan banyak prestasi. Banyak murid-murid pintar dan juga cerdas yang hampir setiap harinya masuk koran karena telah menjuarai berbagai perlombaan.

Di SMA Mentari, hampir semua kelas menyumbangkan banyak prestasi. Hampir semua kelas juga berisi murid-murid yang mempunyai potensi di bidang akademik maupun non-akademik.

Piala dan piagam penghargaan sudah tidak asing lagi bagi murid-murid SMA Mentari. Bahkan saking banyaknya piala dan pernghargaan, sekolah sampai mendirikan bangunan khusus yang terbuat dari kaca untuk menyimpan semua piala dan piagam penghargaan tersebut.

Kata orang-orang, SMA Mentari itu sekolah tanpa kecacatan, anak muridnya patuh terhadap aturan.

Ya, memang benar. Muridnya patuh terhadap semua aturan sekolah.

Tetapi sebagus apapun dan seterkenal apapun sekolah itu, pasti ada saja murid penghancur yang tidak pernah taat terhadap aturan yang sudah dibuat.

Dan SMA Mentari pun memiliki murid semacam itu. Yang dimana murid pembangkang dan murid yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata berkumpul di satu kelas yang bernama 10. C.

Kelas yang cukup terkenal di seantero SMA Mentari. Berisi murid-murid absurd yang mempunyai tingkah laku tidak tahu malu dan sulit untuk di atur.

Kelas 10. C itu seperti kelas kutukan, yang di mana dari dulu isinya adalah murid-murid pembuat onar.

🌟🌟🌟

Kelas 10. C terdiri dari 20 murid. Sepuluh murid perempuan dan sepuluh murid laki-laki. Wali kelasnya adalah Bu Selpi yang merupakan guru Sosiologi.

Sekarang ini masih pagi, dan keadaan kelas sudah ramai dipenuhi siswa dan juga siswi, padahal bel masuk belum berbunyi.

Saat di dalam kelas, Anka terlihat jengah memperhatikan teman-teman barunya. Cowok berambut hitam pekat itu kemudian membuka buku Sejarah yang dibawanya untuk dibaca.

Namun keadaan kelas tidak mendukung, membuat ia malas untuk membaca buku paket Sejarah yang cukup tebal itu.

Cowok yang duduk di bangku dekat jendela itu kembali memperhatikan seisi kelas.

Keadaan kelas tidak kondusif, dikarenakan belum ada guru yang masuk ke dalam kelas yang terletak di pojok lantai tiga ini.

Mata Anka melihat Dimas, cowok berambut gondrong itu sedang menyisir rambutnya di depan sebuah kaca berukuran sedang milik Karin—gadis yang tidak bisa jauh-jauh dari yang namanya kaca.

Aktivitas Dimas membuat Anka terheran-heran. Pasalnya cowok itu menyisir rambutnya dengan rapi, namun setelah itu ia mengacak-ngacaknya lagi, lalu di sisir lagi, acak-acak lagi, terus saja begitu sampai Anka ingin mencukur rambut gondrong cowok bernama Dimas sampai botak.

Karena jengah memperhatikan Dimas yang tidak ada habisnya melakukan aktivitas itu, Anka pun mengalihkan perhatiannya kepada seorang gadis bernama Jeni yang sedang mewarnai kuku tangannya. Di samping kanan dan kiri gadis berambut sebahu itu terdapat dua cowok yang sedang mengipasi dirinya menggunakan buku tulis. Mereka adalah Ginan dan juga Hito.

Anka berdecak, "mau aja dijadiin babu." Desisnya.

"... nah, guys! Kenalin dia Anka, cowok paling ganteng di kelas 10. C!" Seorang gadis bernama Gita mepet-mepet kepada Anka sambil membawa kamera. "Bilang hai dong, Anka." Pintanya kepada Anka.

Anka yang terus dipepet oleh Gita otomatis menggeser tubuhnya, membuat tubuh Gita terjengkang. Untung saja kamera miliknya tidak jatuh.

"Anka, woy! Sakit tau!" Omel Gita, gadis yang masih memegang kamera itu cemberut kesal di atas lantai.

Anka menatap Gita ngeri, "lagian lo apaan sih mepet-mepet? Risih tau!" Cetusnya sebal.

Gita membuang muka, ia bangkit berdiri dan menjauh dari Anka sambil meneruskan aktivitas ngevlog-nya, "Anka emang ganteng, guys. Tapi minus akhlak!"

Anka yang mendengar itu langsung menoleh ke arah Gita dengan tatapan setajam silet, "apa lo bilang?!"

Gita tidak mendengar, ia berlalu pergi ke luar kelas. Hal itu membuat Anka mendengus sebal. Cowok berwajah masam itu kemudian kembali membuka buku paket Sejarah, namun aktivitasnya terhenti kala seseorang yang duduk di depan Anka membalikkan badan ke arahnya.

"Ka, mabar yuk!" Billy—cowok berkacamata yang sedang memegang ponsel itu menatap Anka.

Anka menutup buku paket Sejarahnya, lalu menatap Billy, "males. Main game itu enggak guna, buang-buang waktu! Mending gue baca daripada main."

Billy yang mendapatkan perkataan itu menatap Anka malas, "tinggal bilang enggak mau, ribet amat hidup lo."

"Gue cuman menasehati sebagai teman yang baik,"

"Gue bukan temen lo,"

Anka menatap Billy, ia kemudian menampilkan ekspresi datar, "ya udah, sebagai musuh yang baik gue cuman mengingatkan. Daripada mata lo makin parah gara-gara main game terus, mending lo baca buku! Jadi tuh mata lebih sehat." Ucapnya.

Billy membuang muka, muak dan bosan mendengar ocehan Anka yang sering ia dengar dari orang lain. Ia pun bangkit berdiri dan pindah ke dekat Dimas, duduk di atas meja Dimas sambil melanjutkan aktivitas bermain game di ponselnya tanpa menghiraukan ucapan Anka.

Anka geleng-geleng kepala melihatnya.

Cowok bermata tajam itupun menolehkan kepalanya ke samping kiri, ia menemukan seorang gadis yang rambutnya diikat kuda sedang menari sambil duduk di bangkunya. Di hadapannya terdapat ponsel yang menampilkan pantulan dirinya yang sedang menari.

Musik terdengar di telinga Anka seiring gadis itu menari. Anka tebak, gadis itu sedang membuat video di aplikasi yang sedang ramai-ramainya dipakai oleh banyak kalangan.

"Berisik!"

Gadis yang sedang membuat video itu menghentikan tariannya, kepalanya menoleh ke arah Anka dengan ekspresi polos.

"Apa?" Tanya Kara.

"Berisik!"

"Lo mau ikutan? Sini, sini!"

Anka mendengus kesal, ia memelototi gadis bernama Kara, "budeg lo ya? Makanya kalau ada conge tuh diambil! Biar tuh telinga bisa denger."

Kara menggigit bibir bawahnya sambil bergumam, gadis yang memiliki bulu mata lentik itu kemudian mengambil ponselnya, mematikan lagunya dan beranjak berdiri untuk menghampiri Anka yang duduk di bangku sebelahnya.

"Lo gabut ya? Enggak ada temen? Ya udah, ayok kita bikin tik tok aja. Kita bikin alakyu-alakyuan biar kayak orang-orang," Kara menyimpan ponselnya di depan Anka, ia menjadikan bangku di depan meja Anka sebagai penahan ponsel miliknya agar berdiri tegak.

Anka lantas mendongak untuk menatap Kara, "najis!" Cetusnya.

Kara menoleh, "oh, apa mau joget aja? Ya udah, kita bikin video goyang dombret biar viral." Ucapnya lagi yang makin terdengar menyebalkan di telinga Anka.

"Jauh-jauh lo dari gue, "Anka mengambil ponsel Kara dan memberikannya kepada gadis itu, "pergi, pergi!" Usirnya.

Kara tersenyum menahan tawa. "Yakin enggak mau buat video bareng gue? Followers gue udah jutaan ini, siapa tau nanti lo viral." Tawarnya sambil menarik turunkan alis.

"Males."

"Ya udah." Putus Kara.Ia pun kemudian kembali ke kursinya, sedangkan Anka menghela napas jengah.

"Dosa apa gue masuk ke kelas ini?"

ANKARA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang