A.N. Part ini sedikit lebih panjang dari yang biasanya jadi... persiapkan diri kalian aowkawokk :v
÷
Mungkin bagi orang awam, hari ini akan tampak seperti hari - hari biasanya. Tapi untuk Joy, detik yang berjalan terasa seperti membuat hatinya akan meledak sewaktu - waktu.
Sudah satu minggu terakhir Irene hemat kata jika bersama Joy. Bahkan di titik gadis mungil itu terlihat berusaha menghindar. Joy tidak pernah mengalami hal ini.
Oke, mungkin dia pernah.
Tapi satu minggu penuh? Aman jika mengatakan waktu yang disebutkan merupakan sebuah record. Durasi paling lama Irene mendiamkan Joy.
Tapi jujur, hal yang paling jelas terjadi di mata Joy adalah hubungan Irene dengan kalian–tahu–siapa. Semua orang bisa menyimpulkan bila Irene dan Seulgi sedang dalam masa 'meregang' hanya dengan mengamati keduanya di satu kedipan mata.
Joy penasaran. Sudah jelas bukan?
Satu - satunya yang menjadi masalah adalah dirinya ingat bila Ia tak memiliki hak sama sekali untuk ikut campur atau bahkan sekedar bertanya. Maka dari itu Ia lebih memilih menelan secara kasar sarapan nan terhidang diatas meja kayu hadapannya; mengakui kalimat 'suasana mempengaruhi rasa santapan'. Ditemani wajah serius Irene yang Joy sebenarnya tahu sempat beberapa kali mencuri pandang ke arah Joy saat Ia fokus pada hal lain, bagaimana bisa Joy memakan cream soup panasnya secara nikmat?!
Bisa saja memang ada ketegangan, hanya saja tidak terlihat. Sampai suara Irene nan tahu - tahu secara agresif memecah keheningan diantara mereka, menusuk gendang telinga Joy. Ia lepas dari pertahanan.
"Sooyoung, bagaimana jika ternyata..."
Meletakkan ponsel ke sisi kanan mangkuk putih, Joy mulai memfokuskan mata bulat penuh tanya ke arah Irene nan tampak ragu. Mata mereka saling mengunci. Tapi tetap saja Irene membiarkan ucapannya tergantung; mengundang ketidaksabaran Joy akhirnya mengambil langkah.
"Ya?"
"Bagaimana jika aku ternyata memiliki perasaan lebih padamu?"
Deg.
Sulit sekali bagi Joy menyembunyikan ekspresi berharap nan begitu ingin Ia semburkan pada Irene saat ini, namun Ia tetap berakhir mengontrol emosinya; menjaganya tetap nampak normal walau detak jantungnya sudah jauh dari kata itu.
Joy bahkan belum sempat membuka mulut untuk menanyakan apa yang baru saja Irene ucapkan, tapi sang gadis mungil sudah lebih dulu melambaikan tangan pelan di depan wajah sambil menunjukkan ringisannya seolah topik beberapa detik silam hanya pembahasan ringan yang merupakan salah satu angin lalu.
"Ahahaha... lupakan. That's ridiculous."
Joy mendapati dirinya sendiri mendidih atas panasnya amarah yang perlahan terbangun di dalam dada. Tanpa sadar menangkap pergelangan tangan Irene yang masih menggelombang di udara; mencengkeramnya cukup tegas, sama seperti tatapan yang Ia berikan pada gadis di seberangnya.
"This isn't funny, Rene. Seriously, lain kali cari bahan lain yang lebih pantas kau jadikan bercandaan."
Tawa yang tadinya tampak gugup mulai pudar tergantikan senyum gemetar. Joy tahu Ia menakuti Irene dengan sikap seperti ini. Tapi sungguh, Ia hanya tak bisa menahannya lagi. Joy pun paham bukan salah Irene jika Ia tidak memandang subjek semacam ini seserius Joy. Tidak ada yang lebih mengerti daripada Joy bahwa semua merupakan salah perasaannya sendiri yang bisa dengan mudah diterbangkan semata - mata dengan satu kalimat tanya dan tak menyadari adanya indikasi kelakar dibaliknya.
Singkatnya, di titik ini, perasaan Joy–lah yang sepenuhnya bertanggung jawab.
"Yaah~ kenapa serius sekali, hmm?"
Joy cukup sering menyalahkan dirinya atas kecerobohan hati sampai bisa - bisanya mencintai sahabat karib yang tingkat kepekaannya jauh dibawah nol.
"Sudahlah. Habiskan saja sara—"
"Seulgi mengatakannya, Soo. Malam itu aku pulang dalam keadaan mabuk dan terus menyebut namamu, 'kan?"
Joy baru saja membangkitkan diri dari duduknya dan Ia bahkan belum mengambil satupun langkah hingga kini Ia berdiri memunggungi kursi nan tadi menyangga beban tubuhnya. Rasanya lutut mendadak lemah; bergetar. Joy juga tak berani membalikkan tubuh untuk sekedar melihat ekspresi Irene.
Ia hanya... takut.
Bagaimana jika hal itu malah membuat Irene kecewa pada perasaannya sendiri? Bagaimana jika Irene memilih menjauh seumur hidup setelah semua yang mereka lalui? Bagaimana jika hanya ada kata - kata nan menyakitkan bagi Joy yang akan muncul seiring mereka membahas hal ini lebih jauh?
Memang benar Ia sering menyalahkan diri sendiri sebab mencintai Irene, tapi Ia tak pernah menyesal atas perasaan yang muncul secara tiba - tiba beberapa tahun lalu. Semua yang Ia inginkan hanya berada di sekitar Irene selama mungkin. Bahkan jika itu berarti harus menyakiti hatinya sendiri setiap saat atas cerita - cerita Irene tentang kekasih barunya. Namun membayangkan Irene sungguh akan menghilang dari seluruh kesehariannya menjadikan Joy tak memiliki keberanian untuk sekedar menoleh.
"Kenapa kau mengirimku kembali ke rumah Seulgi hingga aku harus menginap? Apa karena kau jijik dengan bayangan aku tiba - tiba menyukaimu?"
"MWO?! Tidak—"
"Bagaimana jika aku sungguh memiliki perasaan itu, Soo? Bagaimana—"
"Rene—ani. Bae Joohyun, dengarkan aku."
Tidak ada persiapan. Meskipun Ia sudah mengeluarkan perintah bagi Irene untuk diam dan memberikan waktu bagi Joy berbicara, gadis semampai itu masih belum memutuskan kalimat semacam apa yang akan Ia keluarkan saat ini sehingga mereka berakhir saling berhadapan dalam diam tanpa ingin memecahkan kontak mata.
Jika Irene cukup jeli, Ia mungkin bisa melihat Joy menggigiti bagian dalam pipinya; merasa gugup seiring waktu terus berjalan.
Tapi mungkin tidak akan ada kesempatan lagi jika bukan sekarang, pikirnya.
"Aku mencintaimu, Hyun. Sejak dulu. Itu adalah kenyataan."
÷
Maaf tapi aku udah nggak kuat sama penderitaan Joyi. Butuh yang uwu heuu
Regards
- C
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpentine ✔
FanfictionJust some JoyRene contents for minority ship's stans. ⚠️ gxg area