A.N. Aku cuma mau jelasin kalo cerita yang tak buat ini ngikutin budaya barat, bukan Indonesia. Jadi kalo ada yang sedikit berbau dewasa, ya karena itu emang udh cukup sering disana. Yang bisa aku lakuin cuma memperingatkan kalian kalo misal ada adegan dewasa. Jadi aku juga nggak bertanggung jawab kalo kalian masih ngotot mau baca padahal belum umurnya. Paham ya sampe sini.
Mari lanjut. Di part ini mungkin ada dikit tapi ya cuma gtu2 aja, bukan yg eksplisit
🌚🌚🌚🌚÷
Ada banyak hal yang aku sukai. Namun mungkin jika disuruh menyebutkan 3 urutan teratas aku mungkin akan membuat list seperti ini:
1. Menjadi kekasih seberani dan sesabar Park Sooyoung.
2. Dikelilingi orang - orang yang menyayangiku dan mendukung segala hal yang aku kerjakan selama itu membawa dampak positif bagi diriku.
3. Dan yang tak bisa dilewatkan adalah rooftop rumah Sooyoung nan minimalis tapi tetap elegan.Melihat punggung lebar dengan rambut sebahu yang diajak oleh angin untuk bergoyang, membuatku tak bisa menahan senyum. Dingin memang, tapi cahaya yang memantul di kerah baju berbahan satin nan dipakainya sedikit menghangatkanku. Bukan secara fisik, namun perasaan.
"Bisakah kau berhenti merenung? Kenapa kau selalu mengisi kepalamu dengan pikiran, huh?"
Padahal aku berniat memeluknya dari belakang. Tapi ketika aku berhasil melingkarkan tanganku di sekitar pinggangnya, dia justru melepasnya lantas menarikku untuk berdiri di depannya; bertukar posisi setelah menyampirkan jas hitam nan tadinya Ia pakai ke pundakku dengan penuh perhatian.
Dia gentle. Itu yang aku suka. Seolah tak mempedulikan siapa yang lebih dulu lahir, dia selalu memastikan bila aku tak perlu berlagak dewasa di hadapannya dan berlaku apa adanya.
"Kau senang sekarang?"
Tusukan - tusukan angin di kulitku tidak cukup untuk melawan panas bibirnya yang mulai terasa di lengkung leherku. Aku tak pernah merasa sebahagia ini. Aku sangat menyukai sensasi menggelitik setiap kali Sooyoung dengan sukarela melepaskan ciuman - ciuman kecilnya. Aku pun tak lagi ragu untuk menggenggam dua tangannya yang entah sudah sejak kapan melilit di lingkar perutku.
"Jangan pura - pura. Kau juga senang 'kan dengan jawaban orang tua kita? Curang sekali, kau bahkan tak mengeluarkan satu kata pun."
Aku terkikik pelan dan sedikit merinding saat nafasnya menabrak kulit telingaku seiring dia berbicara. Lucu sekali mengingat beberapa menit lalu saat masih di restoran bergaya vintage, sebelum aku memutuskan pulang bersama Sooyoung ke rumahnya, aku ingat seberapa gugupnya Sooyoung sampai tangannya terasa seperti sebongkah es batu ketika menyentuh tanganku.
Tubuhku kini hanya mengikuti aturan dua tangannya yang tiba - tiba mengeratkan pelukan seolah masih ada jarak yang bisa dihapus walau nyatanya tak ada lagi celah diantara kami berdua. Lalu tak lama, dia meletakkan dagunya di pundakku. Untung saja aku memakai sepatu dengan hak lumayan tinggi karena kalau tidak, aku yakin dia akan merasa tidak nyaman dengan posisi itu. Aku juga tak bisa menahan diriku untuk tidak menoleh dan mendaratkan satu kecupan kilat di permukaan pipinya nan sangat halus dan sedikit berisi.
"Kau selalu bisa diandalkan."
"Tentu saja! Aku adalah Park Sooyoung!"
"Kutarik ucapanku."
"Yak!!"
Rengekannya adalah sisi yang paling bertolak dari perawakan luarnya. Dia bisa menjadi menggemaskan dengan caranya sendiri dan membuatku tersenyum seperti orang gila. Kenapa aku tak pernah menyadari bahwa aku pun mendambakan ini sedari dulu? Senyumnya, gerutuannya, omelannya, suara tawanya, pelukannya, ciumannya, semua hal dari dirinya.
Keheningan menyita perhatian kami. Memandang langit malam yang cukup cerah sampai menampakkan bintang - bintang serta bulan sabit di dekatnya tidak terlalu buruk. Tapi kami juga sadar, kami sama - sama sudah dewasa. Sebuah kebohongan besar jika mengatakan tidak ada yang kami pikirkan ketika hanya berdua. Apalagi suasana saat ini sangat mendukung. Lembab ditemani bau bekas hujan, langit cerah bertabur bintang, keromantisan tak terlihat nan tengah mengelilingi kami.
Aku pun tanpa sadar memiringkan kepalaku ke sisi yang berlawanan dari tempat dimana wajah Sooyoung berada. Seolah memberinya akes melakukan apapun nan dia inginkan saat ini. Bukannya dingin, rasa panas yang asing mulai merambat di tulang belakangku saat Sooyoung sedikit menyibak jasnya sendiri yang tersampir di bawah dagunya lantas memberikan jejak bibir samar di sepanjang garis pundakku nan tak lagi tertutupi. Aku menutup mataku sendiri saat merasakan tangan Sooyoung dalam genggamanku mengendur, ditarik perlahan, dan berhenti di kedua sisi pinggangku sambil memanfaatkan kedua ibu jarinya untuk mengusap dress biru gelap yang aku pakai.
"Soo."
"Hmm?"
Aku memanggilnya namun tak tahu apa yang ingin kukatakan. Pikiranku seperti mengambang diudara. Dibawa kesana kemari sampai aku tak bisa fokus pada satu hal. Pada akhirnya aku hanya terdiam, membiarkan ciuman - ciumannya semakin naik lantas berkutat di area belakang telingaku.
"Sooyoung Eonni, ada tel —owh, shit..."
Lupakan. Aku tidak tahu seberapa merah wajahku saat ini kala Yena, adik Sooyoung, berhenti di ambang pintu kaca dengan telefon rumah tanpa kabel, dia angkat di tangan kirinya.
Sial, sial, sial.
Sementara aku disini mengalihkan pandangan kemanapun asal tidak kearah Yena, Sooyoung dengan santainya berbalik. Seolah kejadian 'Yena–melihat–apapun–yang–barusan–Ia–lihat' tidak pernah terjadi.
"Yena, Language! Dan siapa yang telfon?"
"Lagipula apa juga yang kalian lakukan di rooftop?! For God's sake, setidaknya carilah ruangan tertutup, dasar manusia - manusia kelebihan hormon!"
Dan satu hal yang menampar kesadaranku adalah benda hitam hasil sergahan tangan Sooyoung dari genggaman adiknya. Itu berarti seseorang masih tersambung dan apa yang Yena ucapkan akan—
Siapa saja, tolong tenggelamkan aku sekarang juga, please.
Aku hanya berharap bila orang yang menghubungi di saat - saat seperti ini adalah—
"Yerim. Dia ingin mengatakan sesuatu."
Thank God!! Hari ini memang hari keberuntungan. Begitu Sooyoung mengambil alih, Yena langsung kembali turun dan meninggalkan kami yang terkekeh sebab Yerim tahu - tahu berteriak heboh usai mencuri dengar apa yang Yena katakan beberapa menit lalu. Tapi mungkin hal terakhir yang Yerim ucapkan bukan pertanda baik ataupun buruk.
Entahlah. Aku hanya tidak tahu harus melihat ini dari sisi yang positif atau sebaliknya.
"Eonni, appa bilang eonni menginap saja. Sekarang sudah terlalu malam untuk pulang."
÷
Mampus. Chapter berikutnya mau tak bikin gimana ya, malah bingung sendiri uppss
🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚
Bulan itemnya pansos banget ish, bye max.Regards
- C
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpentine ✔
FanfictionJust some JoyRene contents for minority ship's stans. ⚠️ gxg area