#60. Argue

403 55 13
                                    

÷

"Kau yakin akan baik - baik saja?"

Apalagi yang Yerim harapkan ketika Irene mendadak mengajaknya bersiap untuk jogging sekaligus berjalan santai di pagi buta. Berlari dengan langkah cukup pelan tanpa pembicaraan saja sudah membuat Yerim sangat bersyukur.

Tapi tentu ada maksud tersendiri. Selalu begitu. Irene tahu Yerim tidak terlalu suka bangun dibawah pukul 6 pagi dan jika Irene bersikeras, itu berarti terdapat sesuatu nan ingin gadis itu bicarakan.

Yerim pun sebenarnya sudah menebak topik ini akan diangkat oleh Irene. Yang tidak Ia duga ialah ternyata hatinya belum siap. Seberapa banyak Ia mengatakan bahwa Ia baik - baik saja, kenyataan selalu menunjukkan kebalikannya. Langkah nan semakin pelan dan berakhir berhenti sepenuhnya pun juga menjadi bukti lain. Ia tak berani menatap kakaknya. Dalam situasi mereka saat ini, harus ada satu orang yang tepat untuk dikorbankan. Jelas itu adalah Yerim dan si korban sendiri pun sadar akan hal ini. Menumbalkan orang yang salah hanya akan membuat ketiganya terluka dan Yerim tidak suka melihat kakaknya sendiri serta orang yang Ia sukai tersakiti.

"Ya. Ya, ya, i'll be fine."

Irene yang ikut berhenti beberapa langkah di depan Yerim sambil sedikit menoleh ke belakang, tampak menghembuskan nafas agak berat. Ia menyayangi Yerim. Dia keluarganya. Tapi bagaimanapun juga perasaannya pada Joy tak akan berubah. Ia bahkan cukup gemetar ketika Ia kehilangan akal lantas secara ceroboh mengatakan sesuatu nan membuat dirinya sendiri semakin dimakan kegelisahan.

"Kau mau berada di posisiku, Yer?"

"What? Eonni!!"

Teriakan Yerim kali ini tak cukup menakutinya. Irene lalu berbalik dan melangkah kembali supaya bisa berdiri tepat di depan adiknya. Menatap gadis nan sedikit lebih tinggi darinya itu kemudian meletakkan dua telapak tangan di lengan atas Yerim; tak peduli dengan tatapan tajam bercampur terkejut yang Yerim tembakkan padanya.

"Bertahun - tahun Sooyoung memendam perasaannya. Aku paham dia jauh lebih tahu rasanya daripada kau. Dan aku pun sadar, begitu dia tahu kau melakukannya juga, dia akan mulai bimbang."

Yerim menolak. Dengan agak kasar Ia menurunkan dua tangan Irene dari lengannya masih dengan melontarkan tatapan menusuk itu hingga tampak seperti Ia bisa saja menerkam Irene kapan saja.

"Karena itu dia tidak boleh tahu!!"

"Yerim, kau akan tersiksa sepanjang hidupmu! Dan aku tidak suka orang - orang yang aku sayangi tersakiti, kau juga tahu itu!!"

Dan terjadi lagi. Bentakan - bentakan yang dilontarkan satu sama lain sebagai pelampiasan rasa frustasi mulai mengalahkan kicauan burung - burung gereja. Kini keadaan berbalik. Giliran Irene yang dikuasai ketakutannya sendiri hingga tak kuat untuk menatap atau bahkan sekedar melirik wajah adiknya.

Keheningan kembali menyelimuti. Meski Ia tak mengarahkan pandangan kepada adiknya, Ia tetap bisa merasakan aura tatapan tajam yang Yerim masih hujamkan pada dirinya.

"Lalu? Kau rela kalau aku bersama dia?"

Diam - diam Irene meremas celana trainingnya. Merasa hatinya seperti baru saja dihantam batu raksasa nan dijatuhkan dari ketinggian beribu - ribu kaki.

Ia takut. Jelas.

Tapi Ia tahu bahwa sebagai kakak yang secara tidak langsung memiliki tanggung jawab diatas kebahagiaan adiknya, Ia harus tetap tegar.

"Akan kuusahakan."

"JANGAN GILA!!"

"Kim Yerim!!"

Ketika mata keduanya akhirnya saling bertabrakan, raut mereka berubah terkejut secara bersamaan; menyadari bila cairan telah berkumpul di pelupuk satu sama lain. Mulai mengerti bahwa apa yang mereka lakukan sejauh ini bukanlah menyelesaikan masalah namun justru saling menaruh luka.

"Aku tidak akan menjawab apapun yang Sooyoung nyatakan nantinya jika kau belum mengungkapkan perasaanmu.

Yerim ingin marah. Kenapa Irene tidak berpura - pura tidak tahu lalu menjalani kehidupan dengan Joy dengan tenteram saja daripada mempersulit keadaan seperti ini?

Irene sangat keras kepala dan Yerim selalu benci dirinya sendiri ketika Ia kalah; tak memiliki amunisi lagi untuk membatah kakak satu - satunya itu. Pijatan di pelipis berlangsung cukup lama. Hingga Yerim akhirnya menurunkan tangan lantas kembali menatap Irene dengan sorot ragu nan tampak sangat jelas di iris coklat terangnya.

"Okay, i'll do it."

Mata Irene melembut. Walaupun kata resah masih terpampang jelas di kilat matanya, Yerim tetap bisa mengatakan dengan yakin bahwa Irene merasa agak dilegakan. Mungkin jujur tidak terlalu buruk. Lagipula Ia hanya menyatakan, bukannya meminta. Dan disinilah kesempatan Irene menunjukkan sisi dewasanya dengan sedikit merentangkan kedua lengannya.

"Kemarilah. Aku merindukan adikku."

Semoga aku hanya selingan dan semua berjalan normal kembali layaknya tak terjadi apa - apa.

÷

Regards
- C

Serpentine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang