#36. Surprise, Maybe?

500 69 4
                                    

÷

Sementara semua kolega dari ayah Joy dan anak - anak yang mereka bawa ke pesta tahun baru nan orang tua Joy adakan tengah menikmati hidangan - hindangan prasmanan yang keluarga Joy pesan, dua orang gadis justru asik berdansa di rooftop bermodalkan musik dari speaker bluetooth yang dihubungkan dengan ponsel di meja nan bertumpuk dengan satu ponsel lain.

"Kau tahu 'kan kalau kostum kita sangat tidak cocok melakukan dansa seperti ini?"

Meski terdengar mengeluh, Irene tetap saja setia meletakkan telapak tangannya di pundak Joy sambil terus berusaha menyamakan langkah mereka dengan irama musik.

"I know. Tapi cukup beruntung karena hanya lantai satu yang digunakan."

Senyum Irene semakin lebar seiring Ia menyelipkan tangan kirinya hingga kini terletak di bahu belakang Joy; menyembunyikan mulutnya di tulang selangka Joy seraya menghirup parfum kiwi kesukaannya. Seakan tak ingin kalah, Joy mengeratkan pelukannya di pinggang Irene tanpa sekalipun melewatkan kesempatan untuk menciumi sisi kepala gadis mungil tersebut.

"Kau menyiapkan semua ini?"

Seolah memiliki ikatan batin yang kuat, keduanya tanpa sadar mengamati lampu - lampu kecil nan berkerlip indah menemani gerakan mereka yang semakin teratur dari waktu ke waktu. Dan saat mata mereka sudah cukup dimanjakan oleh tanaman - tanaman rambat yang semakin memberi kesan asri, keduanya kembali pada kegiatan mereka sebelumnya. Joy ikut tersenyum di tengah tindakan menghujani kepala Irene dengan kecupan saat Ia merasakan bibir Irene bergerak di permukaan kulit pundaknya; membentuk senyuman.

"Hmm. Maaf jika terlalu sederhana dan minimalis. Aku sungguh tidak tahu cara mendesain."

Kekehan lembut mengalun begitu saja dari mulut Irene sebelum Ia akhirnya menarik kepalanya hanya karena ingin menatap wajah indah gadis semamapai nan disinari cahaya bulan. Beberapa saat mereka terus bergerak dengan saling mengunci mata satu sama lain, Irene akhirnya mengambil langkah pertama dengan memindahkan dua tangannya untuk menangkap pipi Joy dan menariknya mendekat; memberikan kecupan yang kilat namun berkali - kali di bibir merah Joy.

"Indah sekali."

Hati Irene rasanya menghangat kala senyuman Joy berubah lebih tulus. Lebih dalam dibanding beberapa menit lalu. Dan Irene pun tahu, bahwa pertanyaan Joy selanjutnya hanyalah umpan untuk memancing Irene supaya mengatakan yang Joy ingin dengar dari mulut Irene.

"Apa yang indah?"

Tanpa ragu, si gadis mungil kembali menarik wajah Joy. Namun kali ini lebih rendah sampai bibir tipisnya menempel di tengah kening Joy.

"Dahimu indah."

Irene bahkan tak keberatan meletakkan bibirnya diatas dua alis yang telah digambar secara bergantian.

"Alis tajammu juga."

Semakin ke bawah, Irene tak ingin melewatkan kelopak mata Joy.

"Walau aku sedikit tidak suka yang satu ini karena kadang menutup mata elokmu, tapi tetap saja Ia indah."

Senyuman Irene kembali melebar saat Ia mendengar Joy terkikik atas komentarnya sebelum dilanjutkan pada ujung hidung Joy nan mengkilap disebabkan bahan kimia yang secara tipis dikenakannya.

"Aku suka garis hidungmu. Dia juga indah."

Pipi.

"Berisi dan halus. Kadang aku ingin mencium atau menggigitinya sepanjang hari. Jangan dirusak! Ini satu asetku yang paling berharga tahu!"

Irene jelas bisa merasakan telapak tangan Joy bergerak naik turun mengusap kedua pinggangnya; berusaha memberi kehangatan saat angin berhembus. Padahal satu - satunya orang dengan pakaian lebih terbuka adalah Joy sendiri.

Berpindah ke kedua rahang Joy, Irene memberikan beberapa kecupan lebih banyak dari spot sebelumnya.

"Tampak tegas saat mengeras. Aku suka. Ini adalah salah satu favoritku."

Dagu.

"Dia indah dengan garis lengkung yang sempurna."

Tersisa spot terakhir yang telah ditunggu - tunggu. Keduanya menarik wajah dan saling mengunci tatapan. Irene tak merasa tidak nyaman kala memandang bola mata yang terus mengamatinya penuh cinta. Senyum gadis di depannya nan menjalar sampai mata sungguh tak memudar sedikitpun.

"Yang terakhir sungguh menjadi kesukaanku nomer 1. Dia selalu berhasil membuatku merasakan berbagai emosi dengan kata - kata yang dikeluarkannya. Dialah yang sepenuhnya memenangkan hatiku."

Beralih pada bibir tebal terbalut kosmetik merah terang yang memberikan kesan seksi namun berani, Irene perlahan menutup mata ketika salah satu tangan Joy mulai naik dan mendorong punggungnya. Menyatukan perasaan dengan menempelkan kedua bibir mereka. Lalu diawali oleh lumatan - lumatan ringan nan Joy berikan lebih dulu, Irene berakhir mengimbangi ritmenya. Saling mencumbu tanpa nafsu dan tidak terburu - buru.

Untuk sekarang, semuanya hanya berkutat pada perasaan, bukannya gairah.

Malam ini... spesial.

Se-spesial itu sampai reaksi mereka dengan mudahnya berbanding terbalik hanya karena satu momen.

Spesial, huh? Mungkin ada surprise lain di hari yang spesial ini. Sampai keduanya membeku di tangga ketika mereka memutuskan untuk balik bergabung dengan para pebisnis dan anak - anaknya. Dua pasang mata menatap satu sosok di dekat jendela besar. Disana berdirilah Seulgi, Yerin, serta Wendy tengah memegang gelas champagne sembari mengobrol dengan tampang serius.

Ditengah kebingungan yang membuat mereka membatu, sang gadis semampai akan selalu menjadi yang lebih tegas, lebih bertekad. Meski di dalamnya Ia pun sesungguhnya juga lemah, tapi Joy mempertahankan dirinya menjadi kuat ketika berada di sekitar Irene. Lalu pada akhirnya Joy lah yang pertama berhasil keluar dari keterkejutan.

"Mereka... apa yang... How did they even get here?!"

Mungkin memang sebenarnya ini bukan hari terbaik bagi mereka sejak awal.

÷

Regards
- C

Serpentine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang