A.N. Ni nu ni nu... Warning!! ⚠️
÷
"Apakah masih sama?"
"Yeah, begitulah. Aku akan menyelesaikannya. Kau fokus saja pada studi mu."
Irene tersenyum getir dalam kegelapan kamarnya. Ingatannya jatuh pada satu bulan lalu dimana Yerim akhirnya menuruti Irene; mengutarakan rasa yang bersarang di hati tepat beberapa menit sebelum gadis berisi itu memasuki pesawat dan kembali ke negaranya. Bahkan Irene tak bisa lupa bagaimana ekspresi kalut di wajah Joy ketika gadis itu berbalik usai Yerim meninggalkannya tanpa penjelasan lebih lanjut selain 'aku menyukaimu sejak dulu, eonni. Maaf.'.
Benar saja dugaan siapapun. Segalanya berubah di detik selanjutnya, setelah pengakuan itu. Tatapan Joy yang selalu hangat berubah bimbang dan terluka, malam nan selalu menyenangkan dan mendebarkan bagi Irene dan Joy menjadi begitu dingin sebab tak lagi saling memeluk dalam tidur mereka, pagi nan menyegarkan berganti suram akibat keheningan sebab tak ada yang mau memulai pembicaraan.
Yerim masih sangat muda. Dan Irene serta Joy yang beberapa tahun lebih tua tentu tidak bisa bila harus menutup mata pada penderitaan yang Yerim rasakan selama ini. Mungkin hal itu juga menjadi alasan lain mengapa mereka saling menghindar.
Untuk menyakiti diri sendiri sebagai sebagai upaya membayar seluruh rasa sakit yang Yerim tahan sejauh ini.
"Yerim tidak bisa terluka sendirian sementara kita berbahagia."
Yang tidak keduanya tahu satu sama lain ialah tangisan yang setiap malam mereka tumpahkan diam - diam. Meredam suara isakan menggunakan telapak tangan di kamar masing - masing sambil memikirkan lagi, langkah apa yang seharusnya mereka ambil.
Tapi tampaknya Irene tidak bisa menahan dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga mereka berada di satu pintu yang sama; satu atap yang sama. Seberapa besar usaha untuk menghapus rasa, mereka akan berakhir kembali ke jalur yang sama lagi. Malam ini, tepat satu bulan setelah kejadian itu, Irene dengan berani mendorong pelan pintu kayu kamar Joy. Mendapati si gadis semampai tengah berdiri di sisi jendela, menatap langit berbintang dengan pandangan sendu. Tangannya tersilang di depan dada seolah hal itu bisa mengusir hawa dingin nan menusuk - nusuk hati.
Ia menoleh.
Dan begitu matanya bertemu dengan milik Irene, kedua tangannya jatuh di sisi tubuh. Menyadari ini adalah hal nan menyimpang dari hukuman yang mereka tetapkan sendiri dalam batin.
"Hyun."
Irene hanya berhenti. Terdiam di ambang pintu, mencengkeram gagangnya dengan begitu erat sampai buku - buku jarinya memutih. Irene tahu, panggilan itu secara tersirat memerintahkannya untuk pergi. Tapi walaupun tak ada satupun pencahayaan di kamar Joy, Irene dapat dengan jelas melihat satu kilauan jatuh dari sudut mata kekasihnya. Atau mungkin mantan? Entahlah. Ia bahkan tidak yakin lagi dengan status hubungan mereka.
"Aku..."
Dan satu tetes ikut jatuh dari sudut mata Irene. Hati Joy sesungguhnya perih kala melihat Irene menunduk menatap kedua kakinya yang beralaskan sandal rumah putih. Ia sangat mengerti bahwa hal itu Irene lakukan hanya supaya Ia tak menyadari bahwa Irene pun menangis. Tapi Ia tahu. Ia selalu tahu.
Dan keduanya sudah tidak tahan.
"Aku tidak bisa lagi, Soo!"
Joy sedikit menundukkan kepalanya ketika Irene melepas genggamannya dari gagang pintu, lantas dengan sedikit berlari, Irene menangkap wajah Joy menggunakan dua tangannya. Menariknya sedikit merendah hanya supaya Ia bisa menabrakkan bibirnya pada yang lebih tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpentine ✔
FanfictionJust some JoyRene contents for minority ship's stans. ⚠️ gxg area