÷
Aku sudah pernah mengatakan hal ini kan? Sekuat apapun aku berusaha menghindar, segalanya akan kembali pada Joohyun dan hanya Joohyun. Aku bahkan lepas dari penjagaan dan mendapati diriku sendiri duduk di sela sisinya di salah satu bangku tunggu bandara. Tak ada percakapan penting berdurasi lebih dari 1 menit yang terjadi. Airpod tanpa musik terputar yang menggantung, menutup dua lubang telingaku pun hanya kedok supaya dia tak bicara padaku. Atau mungkin ini hanya untuk melihat effort apa yang dia berikan? Entahlah, i'm just so whipped for her.
Lagipula dia bersungguh - sungguh dengan kesepakatan kita hari itu untuk saling memberikan ruang. Dia tidak mengobrol denganku jika tidak benar - benar penting. Dia bahkan tidak ingin repot - repot mengirimiku pesan. Selain tiket bandara yang tiba - tiba Ia informasikan padaku dua hari sebelumnya, kami sungguh tidak berkomunikasi. Semuanya begitu sepi; begitu... hampa.
Aku selalu ingin memeluknya. Bau vanila tubuhnya tak pernah hilang dan selalu tercium kemanapun aku pergi bahkan jika tanpa dia. Mungkin sekedar halusinasi beralaskan keinginan untuk kembali padanya.
Love is bloody. I'm not gonna lie.
Ini menyakitkan lebih dari apapun di dunia.
Aku pun sampai tak sadar bahwa aku tenggelam dalam pikiranku sendiri dengan ponsel menyala di genggaman hingga sebuah ketukan di tulang pundak membuatku mendongak. Mendapati tubuh mungil itu sudah berdiri. Tangannya kecilnya memegang gagang tarikan koper ungu kesayangannya.
"Ayo. Sudah boleh masuk."
Tangan itu. Aku ingin menggenggamnya erat dan berteriak bahwa dia milikku. Selalu.
Tapi segala pembatas yang kami bangun sendiri menjadikan aku hanya mengangguk lantas melangkah melewatinya. Meremas pegangan koper seerat mungkin sebagai pengalihan rasa perih nan mendadak muncul lagi.
Kami tidak baik - baik saja.
Tapi aku selalu sadar bahwa kami diam - diam tak bisa melepas satu sama lain. Ingin selalu dekat, tak peduli sehening dan secanggung apa nanti situasinya.
Sepanjang perjalanan pun aku hanya menatap awan yang kami lewati. Berkali - kali menggigit bibir sendiri sampai aku yakin, ada sedikit luka disana, hanya supaya aku bisa menahan segala hasrat untuk bicara dengannya. Bukan tentang harga diri, tapi perasaan. Aku takut jika pembicaraan kecil akan mengganggu proses berpikirnya. Lucu bukan? Aku selalu memikirkan dia lebih dulu padahal aku habis menangis karena dia.
Cinta memang sulit dipahami. Dan tidak perlu juga sebenarnya.
Aku kira aku hanya akan tertidur karena terlalu lelah memandangi objek putih nan bergerak dan berangsur menghilang saat sayap pesawat menabraknya. Namun ketika aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh punggung tanganku, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh.
"Soo,"
Sesaat kulirik tangan mungil yang dengan santai beristirahat diatasku sebelum kembali menatap wajahnya. Ekspresi itu. Ekspresi tak berdaya yang sama nan Ia tunjukkan malam dimana Ia secara tidak langsung sukarela menyerahkan dirinya untuk dicium. Membawa luka dihatiku kembali mengambang ke permukaan. Aku tidak bisa. Sekuat apapun aku mencoba melupakan, ingatan itu tetap menakutiku. Jadi aku mendorong perlahan pergelangan tangannya hingga benar - benar pergi.
"Tidak sekarang, Hyun."
÷
Regards
- C
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpentine ✔
FanfictionJust some JoyRene contents for minority ship's stans. ⚠️ gxg area