13 - Lelaki manis

16 4 0
                                    

Bagaimana rasanya genggaman tanganmu itu tidak akan pernah ku lupa..karena pada saat tanganku kau genggam, ketenanganlah yang selalu ku rasa.

- Fanny Cheryl Griselda

•••

“Gue ada dimana?”

Penuturan Agnes sukses membuat seisi ruangan terlonjak kaget. Bahkan Fanny sempat tercengang mendengarnya, semua pasang mata mengarah pada Agnes.

“Sekarang tanggal berapa?”

“Gue ngapain disini?”

Perawat yang sedang mengobati luka Fanny menghembuskan nafasnya pelan. “Kalau dia beneran amnesia itu justru lebih parah dari kamu dek,”

Ucapan perawat itu tidak sependapat dengan hati Fanny, hati Fanny mengatakan bahwa Agnes hanya—berpura-pura. Tetapi bagaimana jika gadis itu benar-benar amnesia? Mengingat posisi saat kecelakaan tadi Agnes terlentang. Bisa saja bukan jika kepala Agnes terbentur meskipun Fanny tidak yakin dengan itu.

Fanny melihat raut wajah Felcia yang berada disamping brankar, beliau tampak tidak suka dengan ucapan Agnes. Fanny bisa menebak dengan mudah apa arti raut wajah Felcia.

Finish. Habis ini kamu kakak pindahin ke ruangan inap dulu ya sambil nunggu dokternya dateng, beliau dateng kayaknya maghrib.” ucap perawat yang mengobati luka Fanny dan hanya dibalas senyuman tipis oleh Fanny.

Sebuah kursi roda berhenti tepat disamping brankar yang ia tempati, perlahan dibantu oleh perawat tadi Fanny duduk dikursi roda yang telah disediakan. Lalu didorong dengan sangat hati-hati, diikuti Felcia dibelakangnya.

Saat keluar dari ruangan yang Fanny yakini adalah ruang pemeriksaan, ternyata Hendra dan Dave menunggu mereka diluar. Hanya raut wajah datar yang Fanny tunjukkan, sekilas ia melihat Dave memalingkan wajahnya. Ada apa dengan pria kecil itu?

Tiba diruang inap, Fanny dibantu untuk berpindah ke brankar yang berada disana. Fanny hanya merebahkan dirinya diatas brankar sembari melihat langit-langit diruangan itu, tidak lama kemudian suara yang terdengar familiar ditelinganya memasuki ruangan yang disinggahi Fanny.

Dia Alfin.

Terlihat jelas bahwa lelaki itu khawatir, sangat. Alfin kemudian mendudukki dirinya disamping brankar yang ditempati oleh Fanny, gadis itu bahkan lupa Felcia tertinggal diluar.

“Lo ngeyel banget sih gue bilangin,” lirih Alfin namun masih bisa didengar oleh Fanny, perasaan bersalah datang menghampuiri Fanny harusnya ia tadi mendengarkan larangan dari sahabatnya ini. Ah iya harusnya ia tadi juga mendengarkan usulan dari Naya agar mengerjakan tugasnya lain hari saja, rupanya Naya lebih dulu memiliki firasat tidak baik.

Dan Fanny melupakan satu hal, jika hari ini adalah hari sialnya. Bolehkah mengatakan demikian? Entah mengapa setiap bertemu hari ini Fanny selalu mendapat musibah, entah itu tersandung saat berjalan atau kejadian lainnya yang merugikan bagi Fanny. Tetapi Fanny mencoba menyangkal hari sialnya itu karena baginya semua hari sama saja, mau dihari apapun kalau Tuhan ngasih ujiannya dihari yang sama kita hanya sebagai makhluk-Nya bisa apa?

Alfin meraih tangan Fanny lalu menggenggamnya, awalnya Fanny terkejut namun selanjutnya ia mencoba untuk rileks lagipula bukan baru kali ini. Mungkin Alfin hanya ingin menguatkannya.

“Ini sakit?” tanya Alfin sembari melihat luka ditangan sebelah kanan Fanny yang sudah dibalut perban dengan rapinya.
“Gue sentil boleh? Mau liat beneran sakit atau boongan,”

“Ya janganlah Fin, mana ada sakit boongan.” lirih Fanny nyaris tidak dapat didengar oleh siapapun namun  gadis itu sembari tersenyum geli saat menjawabnya karena luka diwajah Fanny cukup membuatnya sulit untuk berbicara, itu juga menandakan bahwa Alfin sukses membuat Fanny tersenyum disela-sela menahan perih luka ditubuhnya.

FannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang