9. Bukan Perempuan Lemah

130 10 1
                                    

Makasih udah memberi pelajaran untuk tidak terlalu mencintai seseorang


Happy Reading

"Benar-benar cewek murahan,"

Kalimat sederhana namun menusuk langsung ke relung hati. Apalagi yang mengucapkan adalah orang yang pernah kita sayangi dengan tulus. Teganya dia menganggap cinta yang suci menjadi sebuah permainan.

Aku masih termenung. Tak tahu harus bereaksi seperti apa lagi. Selama acara pelantikan pun aku yang jaga presensi menjadi terlalu banyak melamun. Aku sudah berusaha fokus, tapi apalah daya kalau pikiranku memang sedang kacau. Beruntung ada Dini yang berusaha menghandlenya.

"Nav, kamu kenapa sih? Dari tadi melamun aja. Mikirin apa? Cerita dong sama aku. Mungkin aku nggak bisa bantu menyelesaikan, tapi seenggaknya kamu agak lega dengan bercerita," ujar Dini.

Saat itu bertepatan pula dengan laki-laki yang telah menghancurkan perasaanku lewat bersama gadis yang digadang-gadang sebagai pacar barunya. Sudah tak asing lagi dengan kabar jadiannya Chandra dengan Gendhis. Sebisa mungkin aku berusaha tegar menghadapi semua ini.

"Masalah sama Mas Chandra?" tanya Dini lagi.

"Nggak usah sebut namanya bisa nggak Din?" balasku yang terkesan membentak.

Dini sempat terkejut dengan nada biacaraku. Aku yang langsung sadar langsung meminta maaf kepada Dini.

"Sorry Din, aku lagi banyak pikiran. Kalau nanti aku udah nggak kuat memendam sendiri, aku pasti akan curhat ke kamu," ujarku.

Dini mengelus pundakku dan memberi efek sedikit tenang untukku.

"Kapanpun kamu mau cerita, aku siap jadi buku diary kamu," ujar Dini tulus.

Kami pun berpelukan. Dan gerak-gerik kami berdua tak luput dari penglihatan Chandra. Dia malah dengan sengaja merangkul bahu Gendhis dengan posesif. Aku hanya bisa menghela nafas untuk mengurangi rasa nyeri di dada akibat pemandangan tersebut.

Acara selesai dan dilanjutkan dengan beres-beres tempat yang kami gunakan tadi lalu lanjut evaluasi kegiatan. Entah dia sengaja atau tidak, tempat dudukku berhadapan langsung dengannya. Padahal aku sudah berusaha menghindar darinya agar aku tak mengeluarkan ucapan yang akan ku sesali nantinya.

"Sini Mas, aku bantu bawa MMT nya," ujarku kepada Mas Ridhan.

"Baik banget sih adek," balasnya.

Aku dan Mas Ridhan berjalan menuju sekre untuk mengembalikan beberapa barang.

"Aku lihat daritadi kamu melamun aja, ada masalah apa Nav?" tanya Mas Ridhan.

"Nggak kok, cuma lagi pusing aja. Satu minggu ini kan banyak acara juga. Mungkin capek juga," elakku.

"Jaga kesehatan dong Nav, jangan sakit," ujar Mas Ridhan.

Memang bukan tubuhku yang sakit, tapi hatiku yang hancur lebur.

"Iya kakakku," candaku.

"Bawa motor nggak Nav?" tanya Mas Ridhan tiba-tiba.

Aku menggeleng karena memang tadi ke kampus bareng Dini.

"Pulang sama aku gimana? Rumah kita kan searah," ujarnya.

Aku menimbang sejenak. Tidak ada salahnya juga mengiyakan ajakannya. Toh nanti Dini juga nggak bisa antar aku pulang. Tetapi belum sempat aku menjawab, ada suara yang menginterupsi.

"Navya pulang sama aku. Kita mau ada urusan dulu," ujar laki-laki itu.

Tanpa menoleh pun aku sudah tahu kalau itu ulah Chandra. Apa coba tujuannya mengucapkan kalimat seperti itu?

Cinta Simpul Mati 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang