22. Konspirasi Alam Semesta

117 13 0
                                    

Nggak ada untungnya
mikirin orang yang udah memberi luka kepada kita




Happy Reading

"Kamu yakin mau pulang ke Surabaya? Kamu udah pikirkan matang-matang? Papa nggak mau kamu salah ambil keputusan Nav," tanya Papa.

Saat ini aku sedang video call dengan Papa dan Mama. Orangtuaku memang yang pertama aku kasih tahu tentang kepulanganku ke Surabaya.

"Pa, aku balik ke Surabaya bukan karena keinginanku sendiri. Aku dipindah tugas. Kalau Papa khawatir aku akan bertemu dengan laki-laki itu lagi, Insyaa Allah Nav siap dengan semua konsekuensinya. Mau nggak mau Nav harus siap dengan semua itu," jawabku.

Memang besar kemungkinan aku akan bersinggungan dengan orang-orang di masa laluku. Ternyata dua tahun menghilang belum bisa untuk menghilangkan semua rasa ini. Rasa yang bercampur menjadi satu sampai aku tak bisa mendefinisikannya. Dan kini, aku akan kembali untuk karir juga untuk orang tua.

"Papa hanya ingin yang terbaik buat kamu Nav, Papa ingin kamu bahagia," ujar Papa.

"Papa tenang aja, Nav bisa jaga diri. Nggak mungkin juga lari dari masalah untuk selamanya kan? Karena Nav ingin menyelesaikannya dengan kepala dingin, kalau memang harus berakhir ya berakhir secara baik-baik," jawabku.

Aku memang sudah membulatkan tekad untuk bersedia pindah tugas ke kota kelahiranku tercinta. Apapun konsekuensinya akan aku terima.

Aku masih terus meyakinkan Papa dan Mama untuk menerima keputusan yang sudah aku buat ini. Entah kenapa setelah mendengar cerita Mas Hendra bulan lalu, seketika rasa sakit itu mulai berkurang. Berkurang karena orang yang sudah melukaiku telah mendapat balasan atas perbuatannya.

"Din, nggak sabar deh aku sama jabatan baruku nanti," ujarku.

"Iya iya yang bakal jadi sekretaris manajer. Selamat ya Nav atas posisi baru kamu," balas Dini.

Di antara kami berdua, hanya aku yang dipindah tugas. Sedangkan Dini masih tetap di Malang.

"Tapi kita bakal jauh Din," rajukku.

"Kamu pikir Surabaya-Malang itu kayak Sabang-Merauke? Kita bisa janjian saat weekend. Aku yang ke Surabaya atau kamu yang ke Malang. Jangan putus silaturahmi kita ya Nav," ujar Dini sambil memelukku.

Persahabatanku dengan Dini memang sedekat ini. Kami bersama sejak duduk di bangku SD sampai saat ini selalu satu sekolah, bahkan selalu satu kelas terus. Dia bukan lagi sahabatku, tapi Dini adalah saudara perempuan yang tak pernah aku miliki sebelumnya. Ya, iyalah kan adikku cuma satu mana laki-laki pula. Hehehehehe

***

Hari ini aku akan benar-benar pulang ke kampung halamanku. Setelah dua tahun sama sekali tak menginjakkan kaki disini, semua menjadi terasa asing. Rasanya banyak yang berubah dari Kota Pahlawan ini. Aku memutuskan untuk naik bis umum saja karena aku kangen banget sama kemacetan jalan perkotaan.

Beruntung bis yang aku tumpangi melewati gang perumahanku. Jadi nggak perlu ganti transportasi lagi karena tinggal jalan kurang lebih 500 meter. Itu mah dekat bagiku. Hehehehe

"Assalamualaikum," salamku saat sampai depan rumah.

"Waalaikumasalam,"

Itu suara Mama. Sungguh aku merindukan Mamaku tercinta itu. Tak lama kemudian, Mama keluar dan membuka gerbang. Aku sangat merindukan Mama dan semua anggota keluarga yang ada disini.

"Anak Mama," ujar Mama sambil memelukku erat.

"Kangen Mama," rajukku seperti anak kecil.

"Kamu tuh ya, udah umur 25 masih aja kayak anak kecil," ledek Mama.

Cinta Simpul Mati 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang