Detik jam terdengar paling keras memecah suasana hening di salah satu ruangan di Rumah Sakit. Sesekali terdengar suara telapak kaki di iringi gesekan kursi roda pada ubin.
Lelaki berseragam khas SMA dengan logo sayap kebanggaan Zenith tengah duduk di kursi pojok ruangan, lebih memilih duduk di sana ketimbang duduk dekat ranjang pasien yang di tempati gadis yang beberapa jam lalu dia tabrak.
Tidak ada luka parah dalam tubuh gadis itu hanya beberapa luka goresan yang ditempel kain kasa di area lutut dan lengan.
Tatapan tajamnya begitu menelisik, menatap mata yang sedari tadi terpejam cukup lama. Jika bukan dirinya yang bersalah mungkin dia akan meninggalkan gadis ini. Mau tidak mau ia harus meluangkan waktu untuk menunggu perempuan itu. Setidaknya sampai sadar.
Mata cokelat terangnya beralih menatap ponsel yang tidak pernah berhenti bergetar menampilkan pop up pesan dari teman-temannya termasuk Fergie. Menanyakan keberadaan motor yang di pinjam tiap detik.
Ia mendengus. Mematikan ponselnya dan kembali menatap gadis yang terbaring di brankar.
Mata yang semula terpejam terbuka secara perlahan. Dahinya mengernyit ketika sadar dirinya terbaring di tempat asing. Mata bulat itu semakin membola ketika mendapati laki-laki yang menatapnya begitu tajam.
Azel memejamkan mata begitu erat, rasa cemasnya menyerang begitu saja di saat matanya berserobok dengan mata tajam lelaki yang duduk di kursi itu. Tatapan lelaki itu sudah tidak asing lagi bahkan lelaki berperawakan tinggi dengan seragam Zenith semakin memperjelas dugaannya.
Lelaki yang menjadi mimpi buruk setelah pulang dari pensi.
"Udah sadar kan? Gue mau balik."
Melihat wajah lelaki itu yang begitu tampan dan enak di pandang tidak membuat Azel merasakan gugup seperti sekarang. Tetapi justru Azel lebih takut lelaki yang tidak di ketahui namanya itu mengenali dirinya sebagai penyusup di Pensi Zenith.
Azel berdehem singkat, tangannya menggapai segelas air putih yang tersedia lalu meneguknya pelan. Azel membutuhkan air untuk membasahi kerongkongannya dan menyiapkan seribu alasan jika lelaki itu tiba-tiba mengenali dirinya.
Di lihat dari tingkah sepertinya lelaki itu tidak mengenali Azel yang hadir di Pensi kemarin. Syukurlah, Azel bisa bernafas lega sekarang. Baru saja bisa bernafas lega, Azel melotot ketika lelaki itu pergi. Benar-benar meninggalkannya. Pertanggung jawaban macam apa itu?!
Bahkan kesadarannya belum terkumpul sempurna, ia masih lemas. Dengan tergesa Azel mengikuti kemana lelaki itu pergi dengan kakinya di paksa untuk lari. Dengkulnya terasa nyut-nyutan. Tidak ada pilihan lain untuk lari kecuali jika Azel ingin pulang dengan berjalan kaki. Apalagi ia tak tahu di daerah mana sekarang.
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Azel menggerundel. Korban kecelakaan mana yang baru sadar sudah di paksa lari seperti yang Azel lakukan saat ini. Kecuali sinetron di televisi yang sudah sadar langsung mencabut infusan dan lari seperti sudah bugar kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Strait of Gibraltar
Novela Juvenil"Lo gak mau jadi pacar gue?" "Gak! Resiko punya pacar ganteng itu banyak. Gak enak jadi ceweknya." "Satu, kapan aja bisa di selingkuhin." Azel mengacungkan jari telunjuknya. Menatap Akhtar lekat. "Dua, kemana-mana pasti di lirik cewek." "Tiga, pelua...