Pukul lima Abib baru saja tiba di rumahnya. Ia memarkirkan motor hijaunya di samping mobil hitam milik Abinya. Lelaki itu mamasuki rumah dengan menenteng tas sekolahnya di tangan kiri.
Di ruang keluarga ia melihat ada Agung dan Adel yang sedang duduk berdampingan di sofa yang menghadap layar besar yang sedang menyala. Abib menghampiri kedua orang tuanya lalu menyalimi mereka.
Agung, Abi-nya menatap datar anak satu-satunya yang baru saja pulang di pukul lima sore. Abib yang di tatap seperti itu memberikan senyum tiga jarinya pada sang Abi. Ia mengaku salah karena pulang telat dan lebih parahnya lagi lelaki itu telat dua jam dari jam pulang yang sesungguhnya.
"Dari mana aja kamu?" tanya Agung menatap datar putra tunggalnya yang masih setia dengan cengirannya.
"Anu, Bi, dari-
"Dari mana?" ulang Agung masih dengan nada datarnya. Adel yang melihat hanya diam tidak ikut campur. Karena sejatihnya Agung lebih paham tentang mendidik anak.
Abib menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Abis main sama Calista, Bi." jawabnya jujur. Abib memang mengajak Calista mampir ke suatu tempat seperti festival di dekat sekolahnya hingga lupa waktu jika setiap senin abinya akan pulang lebih awal dari jam biasa.
"Main terus. Awas kamu kalo macem-macem sama Lista." ancam abinya.
"Enggak, Bi. Abib cuma ajak Lista ke festival di deket sekolah aja."
"Sampai dua jam?" sambar Adel membuat fokus Abib teralih pada uminya.
"Maaf, Umi." Abib menunduk takut pada kedua orang tua di depannya terlebih Agung yang memang keras dalam mendidik dirinya.
"Ngapain aja di sana?" Agung bertanya lagi. Agung memang seperti itu, selalu bertanya hingga jawaban yang di beri lawan membuatnya puas.
"Abib hanya makan, naik wahana dan mampir ke toko buku yang ada di sana."
"Memang Calista tidak di cariin pulang sore, Bib?" Adel kembali memberi pertanyaan pada dirinya sedangkan Agung hanya memperhatikan mimik wajah milik Abib.
"Tante Kesya telepon, makanya Abib sama Calista pulang."
"Jadi kalo Kesya ga nelepon kamu ga pulang?" cecar Agung membuat Abib kicep.
"Bukan gitu, Bi. Maksud Abib itu-
"Awas kamu pacaran, Abi ga segan-segan buat nikahin kamu detik itu juga ga perduli kamu masih sekolah atau tidak." terdiam. Abib hanya bisa diam mendengarkan semua perkataan Abinya. Ia tidak bisa melawan karena itu memang sudah peraturan tetap di rumah ini.
Dirinya di larang keras memiliki ikatan pada seorang gadis mana pun yang bukan mukrimnya. Termaksud Calista sekali pun.
"Kalau sampai Abi tau kamu pacaran dengan Calista atau cewe mana pun, akan Abi nikahkan sejak itu juga." ucap Agung kembali dengan tegas.
"Iya, Bi." Abib menunduk takut.
"Kamu tau kan, Bi, pacaran itu di larang keras oleh agama. Pacaran juga termaksud tindakan maksiat yang akan berujung pada zina."
"Iya, Abi, maaf."
"Pegang kata-kata Abi, Abib. Abi tidak main-main dalam ucapan. Sekarang kamu masuk kamar dan mandi." titah Agung segera di lakukan oleh Abib. Lelaki itu izin naik ke lantai atas di mana kamarnya berada meninggalkan Agung dan Adel yang masih duduk di ruang keluarga.
Adel menoleh pada suaminya yang duduk tenang dengan mata tertuju pada televisi. Ingin memulai pembicaraan tapi takut.
"Ada apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone [Selesai]
Teen FictionSeries # 3 MauNinda Series #3 *** Cinta itu tidak seindah seperti taman bunga. Cinta itu rumit seperti sebuah labirin. Cinta itu memusingkan seperti Rolercoster. Tapi dari Cintalah kita tau sebesar apa dia memperjuangkan 'cinta'nya agar cinta itu...