"Abib! Turunin gue!"
Lelaki berpakaian santai itu kini sedang duduk di taman belakang kediaman Kesya. Ia hanya diam sibuk memandang Calista yang ada di atas pohon jambu di depannya.
Abib sesekali tertawa karena teriakan Calista yang terdengar miris. Gadis berjamswit dengan baju lengan panjang berwarna hitam itu nampak kesal dan ketakutan karena tingkah Abib yang seenak jidat memindahkan tangga bambu yang ia pakai untuk naik. Dan sekarang dirinya sudah seperti monyet saja, duduk di batang pohon dengan jambu air di tangannya.
"Abib! Anak laknat lo, ya!"
"Idiih, ada monyet cantik. Sini atuh nyet, duduk bareng sama Aa." ledek Abib. Tawa lelaki itu terdengar sangat pecah dan itu membuat Calista di atas sana mengambil satu jambu airnya lalu di lemparkan pada Abib.
Tepat, mengenai kening lelaki itu.
Sekarang gantian Calista yang terbahak melihat Abib mengaduh dengan tangan mengusap keningnya.
Abib menonggak memperhatikan Calista. Ia tersenyum misterius membuat Calista diam terpaku di atas sana. Apa yang akan di lakukan lelaki gila itu.
"Kok diem? Coba ketawa lagi." pancingan Abib membuat Calista menggeleng lemah. Takut.
"Ga bakalan gue turunin lo, liat aja liat."
"Apaan sih lo, Bib! Ga lucu lah!"
Abib menaikan sebelah alisnya, "Yang bilang lucu siapa?"
"Abib! Gue bilangin Mamah gue, lo!" teriak Calista. Abib masih diam karena ia tau gadis itu hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa selain teriak. Rasanya Abib sangat puas melihat Calista seperti itu.
"Bilang sono, Tante Kesya kerumah sakit sih, yee!" nyolotnya. Lelaki itu mengambil sekaleng minuman miliknya lalu di minum dengan cara artis yang sedang iklan minuman tersebut.
"Aaa, seger!" ucapnya dengan tangan di leher dan di beri usapan menurun agar terlihat seperti orang yang benar-bener menikmati minuman itu.
Calista tambah di buat geregetan dengan tingakah temannya."ABIB! GUE BILANGIN KAKAK GUE MAMPUS LO!" teriak Calista menggema di seluruh penjuru taman.
"Emak lampirnya lagi kuliah, jadi ga ada di rum-
"Yang lo bilang Emak lampir siapa, sayang." pelan namun menusuk.
Abib memegangi telinganya yang di tarik dan di plintir dengan kuat oleh gadis usia sembilan belas tahun yang tiba-tiba datang dan mengacaukan tawanya. Ia menoleh dan pelototan keluar begitu saja saat melihat objeknya tersenyum di belakangnya.
"Eh, Kak Tasya." cengiran lolos begitu tau jika yang sedang memegang telinganya adalah Tasya.
"ADUH!"
Tasya kembali menarik kuat telinga Abib, "Puas ngetawain ade guenya? Turunin sekarang atau tulang leher lo gue pisahin dari tubuh lo?"
"Iya Ka, iya. Ampun!"
Tasya melepaskan tangannya membiarkan Abib mengambil tangga bambu yang tergeletak di tanah taman dan di sandarkan pada batang pohon agar Calista bisa turun dari atas pohon itu. Calista turun dengan hati-hati, di bawahnya masih ada Abib yang memegangi ujung tangga membantu menyeimbangi.
Plak!
"Bego!"
Calista menoyor keras kepala Abib hingga sang pemilik kepala berteriak kuat. Gadis itu berjalan menghampiri kakaknya yang masih berdiri dengan tangan bersedekap dada. Ia memberikan dua buah jambu air hasil panennya pada Tasya dan di terima dengan baik oleh perempuan itu.
"Baru pulang, Kak?" Tasya mengangguk. Tangannya sibuk membelah jambu.
"Lah, tumben. Biasanya malem, Kak?" sambar Abib yang sudah mendekat dan sekarang berdiri di sebelah Calista.
Tasya menonggak menatap Abib dengan mata tajamnya, "Kenapa? Mau mojok sama ade gue lo?"
"Dih, mojok gimana kali. Orang dia di atas pohon gue di bahwa, mojoknya gimana?"
"Ya kali."
"Nih ya Kak, sekali pun mojok. Gue ga bakalan milih taman rumah lo. Gue bakalan sewa hotel ya minimal kos-kosan semalam lah, ya. Ngapain tam-
Mulut Abib terkunci rapat ketika tau dirinya sedang di perhatikan oleh Tasya dengan tatapan mengerikan miliknya. Dari dulu sampai sekarang Tasya memang tidak pernah berubah dalam hal mata. Gadis itu akan selalu tajam jika memandang Abib.
Abib menelan silvianya susah payah ketika melihat pergerakan Tasya yang sedang mengambil sebuah lipstik dari dalam tasnya dan Abib tau persis itu bukan lipstik. Seketika bulu romanya berdiri, lelaki itu mundur tiga langkah. Ketakutan.
Calista yang melihat tingkah keduanya berusaha menahan tawa agar tidak meledak di tempat. Satu tahun belakangan ini Tasya lebih sensitif dan tidak bisa mendengar kata-kata yang menyakitkan. Kakaknya itu akan marah dan mengancam orang tersebut dengan sesuatu yang membuat lawannya ciut.
Tapi, jika dengan Abib Calista yakin seratus persen itu tidak akan terjadi. Itu hanya gretakan sementara.
"Ampun, Kak!"
"Hahaha!" tawa Calista lepas. Ia tidak tahan melihat wajah takut Abib dan wajah menyeramkan kakaknya. Itu adalah perpaduan yang cocok untuk membuat perutnya sakit.
"Udah ah, ayo ke dalam, Bib."
Tasya terdiam melihat Calista merangkul Abib dan membawa lelaki itu masuk kedalam rumah. Ia tersenyum tipis melihat persahabatan adiknya yang tidak terpisahkan sejak kecil.
👯♂👯♂👯♂
(Calista Naia Mauninda)
Gue ga suka pake prolog. Ribet.
So?
Horayy!
Akhirnya gue bisa rilis cerita Calista jugaa uwuuu
Btw, cover sementara itu dulu ya, cover yang sesungguhnya belum gue pesen karena orang disainnya lagi banyak orderan.
Jadi gimana, suka? Semoga ya
Vote dan komen di tunggu. Spam komen yang banyak, oke?
Ig : nuraini_1310
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone [Selesai]
Novela JuvenilSeries # 3 MauNinda Series #3 *** Cinta itu tidak seindah seperti taman bunga. Cinta itu rumit seperti sebuah labirin. Cinta itu memusingkan seperti Rolercoster. Tapi dari Cintalah kita tau sebesar apa dia memperjuangkan 'cinta'nya agar cinta itu...