Dua mobil sudah terparkir di depan rumah Calista. Wanda dan Ressy masuk menyusul Calista sedangkan para lelakinya memilih menunggu di mobil untuk merapihkan barang-barang yang mereka bawa. Fikri yang tengah besandar di kap mobil hitam milik Ari hanya diam memperhatikan Alif dan Zio yang tengah saling beradu argumen hanya karena masalah koper.
Alif bertemu dengan Zio sama saja seperti anjing ketemu tikus, tidak pernah diam selalu ribut hanya kerena hal sepele. Ari keluar dari mobil Xania hitamnya, menyusul Fikri yang tengah terkekeh melihat Alif dan Zio saling balas.
"Lo, ikut siapa?"
Fikri meneloh pada Ari yang dengan santai menyandarkan bokongnya pada kap mobil.
"Sama, lo, aja."
"Ada Ressy."
Fikri tertawa pelan dengan tangan menepuk pundak Ari yang terbalut kaus berwarna biru army, "Santai aja."
"Lo beneran udah ga ada rasa sama Ressy?" pertanyaan Ari sontak membuat Fikri terdiam sebentar. Ari yang melihat perubahan wajah itu nampak was-was takut jawaban yang di ucapkan Fikri adalah jawaban yang ia tidak inginkan.
Helaan nafas terdengar, "Masih." jawabnya.
Ari mematung, kepalan tangannya semakin menguat dan Fikri sadar akan itu. Dalam hati Fikri tertawa karena berhasil membuat Ari cemburu oleh ilmu pengendalian mimik wajah yang ia milik.
Ari menatap Fikri kembali setelah tadi sempat menatap sepatunya datar.
"Bener-
Tawa Fikri pecah. Ari masih diam belum mengerti dengan apa yang matanya lihat saat ini. Zio, Alif dan Abib yang berdiri tidak jauh dari kedua lelaki itu memberhentikan aktifitasnya dengan pandangan menyorot Fikri heran.
"Ngapa lo, Fik?" Zio bertanya Fikri hanya menggeleng masih dengan tawanya yang terdengar garing.
"Gila!" serkah Alif tidak di perdulikan oleh Fikri. Lelaki berkaus putih dengan jaket levis membalut tubuhnya itu tidak hentinya tertawa karena Ari yang terlalu percaya.
Fikri menatap Ari, "Bercanda!" setelah mengatakan itu Fikri berjalan menjauhi Ari dan mendekat pada Wanda dan Ressy yang baru saja keluar dari rumah Calista di susul oleh Calista dan kedua orang tuanya.
Calista menyerahkan koper hitam miliknya pada Abib untuk di taru di bagasi mobil. Abib menurut, ia menaruhnya kemudian kembali lagi pada Calista.
"Hati-hati, ya." pesan Kesya. Calista mengangguk dengan senyum.
"Sampai sana jangan lupa kabarin." Helmi melanjutkan pesan istrinya.
"Iyah, Pah, nanti di telepon kok." jawab Calista meyakinkan. Helmi mengangguk kemudian menatap Abib yang berdiri tidak jauh dari dirinya berdiri.
"Bib, jagain Calista ya, dia suka jilatin tiang kalo lagi sendiri!" ucapan Helmi membuat semua tertawa tapi tidak dengan Calista yang cemberut.
Tangan Abib bergerak seperti hormat, "Siap, laksanakan! Kalo perlu kasih kecap tiangnya biar enak."
Helmi dan Kesya tertawa pelan. Ia tau jika teman-teman Calista adalah anak yang baik-baik jadi tidak mungkin melakukan hal-hal negatif.
"Yaudah, Pah, Mah. Berangkat dulu, ya!" Calista mengamit tangan Helmi dan Kesya lalu di ciumnya. Ketujuh temannya mengikutin.
"Hati-hati!"
"Siap, Tante!" kompak semuanya.
Helmi, Kesya masih diam di depan pintu gerbang menunggu dua mobil itu melesat baru mereka akan masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone [Selesai]
أدب المراهقينSeries # 3 MauNinda Series #3 *** Cinta itu tidak seindah seperti taman bunga. Cinta itu rumit seperti sebuah labirin. Cinta itu memusingkan seperti Rolercoster. Tapi dari Cintalah kita tau sebesar apa dia memperjuangkan 'cinta'nya agar cinta itu...