FZ || Ketakutan

733 64 0
                                    

"Keadaan Lista gimana, Mi?"

Abib yang sedari tadi menunggu kedatangan Umi dan Abinya harap-harap cemas karena selama menunggu jantungnya terus berpacu dengan kadar yang tidak semestinya.

Tadi saat Abib turun dan berniat membuat mie instan Abib di buat bingung ketika melihat uminya sibuk mengemas beberapa perlengkapan kerjanya kedalam tas, di samping itu abinya yang jika di rumah selalu memakai sarung atau celana pendek saat itu memakai celana panjang lengkap dengan baju yang terkesan rapi.

Otak Abib bertanya-tanya, ada apa dan kenapa?

Lalu saat di tanya jawaban uminya membuat jantungnya seakan berhenti berdetak, Calista pingsan serta Tasya yang berusaha menyelakai dirinya sendiri.

Abib ingin ikut tapi abinya melarang keras. Lebih parahnya lagi dirinya di kunciin dari luar dengan alasan takut nyusul. Parah.

Abib duduk di samping uminya yang terlihat sangat lelah. Ada abinya juga yang sedang menyadarkan kepalanya di sandaran soffa dengan mata terpejam. Adel mengusap kepala putra satu-satu dengan lembut, Abib mendekatkan dirinya pada Adel mencari kenyamanan di sana.

"Umi, Calista gimana?"

Adel tersenyum, "Calista gapapa kok, Bib. Cuma shok aja."

Abib memejamkan mata serta menghembuskan nafasnya lega, "Bener?" uminya mengangguk.

"Besok juga udah sekolah, kok."

"Alhamdulilah." syukur Abib.

Agung membuka matanya, menoleh pada anak dan istrinya yang sedang saling berinteraksi, "Masuk kamar, Bib. Abi sama Umi mau istirahat." Abib mengangguk patuh.

Pagi hari di kediaman Helmi nampak tenang karena mereka sedang sarapan bersama sebelum melakukan aktifitas selanjutnya. Di meja makan saat ini ada nasi goreng dengan telur dadar serta timun yang sudah di kupas dan di potong dengan rapi.

Helmi menatap istri dan anak-anaknya senduh, dirinya merasa ada sesuatu yang menganjal di hati dan membuatnya sesak. Katakan saja Helmi lemah karena saat ini ia merasa ingin menangis dan menumpahkan rasa yang selama ini di pendam.

Pria menangis bukan semata-mata ia lemah, ia menangis karena hatinya masih berfungsi dengan baik untuk merasakan apa yang harusnya di rasakan oleh hati.

Salah jika menafsirkan pria menangis karena lemah. Justru pria yang tidak menangis lah yang seharusnya di curigai. Ia tidak menangis karena merasa kuat, atau tidak punya perasaan?

"Mas," Helmi tersenyum mendapat penggilan dari istrinya. Ia meletakan sendok yang sedari tadi di tangan dan perpindah pada telapak tangan istrinya yang ada di atas meja.

Kesya memandang sang suami dengan tanda tanya besar, "Ada apa, Mas?" tanya Kesya lembut.

"Gapapa, kok." jawab Helmi di selingi kekehan. Kesya yang sudah hampir dua puluh tahun bersama Helmi paham betul dengan sifat serta sikap suaminya. Ia tau jika Helmi butuh pundaknya.

"Pah,"

Panggilan lemah Tasya membuat Helmi, Kesya dan Calista yang ada di meja makan kompak menoleh pada gadis berpakaian rapi di samping Kesya.

"Kenapa, Sa?"

Tasya menatap papahnya lambat sebelum akhirnya ia membuka suara, "Maafin Tasya udah buat Papah sama Mamah khawatir, maafin Tasya juga udah repotin kalian berdua selama setahun belakangan ini. Tasya minta maaf karena Tasya merasa ga guna jadi seorang an-

Friend Zone [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang