"Udah lah, Lis. Vano udah bukan siapa-siapa lo lagi, jadi stop buat nontonin dia kaya gini." Wanda berucap begitu menusuk pada Calista yang bernotabe sebagai seorang wanita yang baru saja di putusin pacarnya.
Calista tidak merespon perkataan yang di lontarkan oleh Wanda, dirinya sibuk memandangi lelaki berjersi hijau dengan nomor pungung 15 yang sedang berlarian menggiring bola basket ke ring lawan.
"Lis!" seru Wanda cukup kuat lantaran perkataannya hanya di anggap angin lalu saja oleh temannya. Calista menoleh paksa pada Wanda yang terus mengoceh tidak jelas.
"Apa sih, Wan." jawabnya rada jengkel.
"Lo! Jangan jadi cewe modelan gitu ke. Gue kesel tau ga liat lo begitu!"
"Apaan, ga denger?!" teriak Calista keras. Karena bersamaan dengan ucapan yang di lontarkan oleh Wanda seruan murid yang menonton latihan basket terdengar. Benar, Calista dan Wanda saat ini sedang berada di tribun lapangan menonton anak kelas XI IPA 1 dan 5 yang sedang berlatih untuk persiapan lomba antar sekolah beberapa minggu mendatang.
"Anjim!" Wanda yang kesal beranjak dari kursi dan berjalan keluar lapangan meninggalkan Calista sendirian di sana. Calista sadar jika dirinya di tinggal, tapi ia abaikan karena sejatihnya hatinya sangat ingin memandangi lelaki gagah di lapangan sana.
Tidak lama Calista bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan lapangan untuk kembali kedalam kelas karena sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi.
☁
Seorang lelaki mendekati Calista yang sedang duduk seorang diri di salah satu meja kantin. Lelaki itu duduk di depannya dengan senyum mengembang membuat Calista hampir saja hilang kendali jika ia tidak segera sadar dengan keadaan.
Lelaki itu duduk di bangku depannya dengan masih memperlihatkan senyumnya. Calista hanya diam sibuk dengan es teh yang ia pesan beberapa saat lalu.
"Apa kabar, Cal?"
Lelaki itu mulai membuka topik pembicaraan dengan Calista yang hanya diam. Dari banyaknya teman yang ia miliki hanya lelaki di hadapannya lah yang memanggilnya dengan sebutan Cal. Seakan panggilan itu adalah panggilan spesial yang di tunjukan untuk Calista seorang.
Calista mulai menonggak ikut menatap mata bulat itu, ingin rasanya ia menangis atau bahkan berteriak kencang mendapati keadaan yang seperti sekarang.
Calista menarik nafasnya pelan lalu membuangnya. Gadis itu menatap Vano, "Baik, lo?"
Ridzvano atau Vano itu tersenyum bahagia mendengar suara gadis di depannya ini. Sungguh ia sangat bahagia bisa duduk saling berhadapan dengan Calista, "Sedikit baik banyak sakitnya?"
Alis Calista bertautan, merasa aneh dengan jawaban yang di beri Vano, "Kok? Kenapa?"
"Sepele sih. Yang jelas cukup sakit karena rasa yang sesungguhnya ga bisa tersampaikan - Vano menarik senyum yang tidak Calista ketahui apakah itu senyum sesungguhnya atau hanya penutup luka - lebih tapatnya terhalangi."
Calista meremas roknya dengan kuat, ia merasa hatinya tertancap belati tajam saat satu kalimat yang terdengar dalam itu keluar dari mulu Vano. Sejak awal memang Calista sudah merasa ada yang aneh dengan kisah mereka, hanya saja semuanya tersamarkan dengan kehadiran Abib yang selalu berada di sampingnya untuk menghibur dirinya.
"Maksud lo apa? Gue bener-bener ga ngerti dan ga paham."
Vano terkekeh pelan, "Lo ga perlu tau, Cal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone [Selesai]
Teen FictionSeries # 3 MauNinda Series #3 *** Cinta itu tidak seindah seperti taman bunga. Cinta itu rumit seperti sebuah labirin. Cinta itu memusingkan seperti Rolercoster. Tapi dari Cintalah kita tau sebesar apa dia memperjuangkan 'cinta'nya agar cinta itu...