=Pembuat masalah?=

394 72 10
                                    

JENAKA

-

-

-

-

=====

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


=====


Sepulang sekolah Jena langsung tancap gas ke butik mamanya. Nggak banyak yang tahu kalo mamanya Jena punya butik yang cukup terkenal di kotanya. Jangankan tentang butik sang mama, yang tahu kalo Jena saudara kembarnya Juna aja bisa dihitung pake kancing kemeja. Itu sebabnya selama ini Jena nutup diri tentang keluarganya. Bukannya Jena humble, tapi emang Jena males ngumbar-ngumbarnya.

Ya meski dari keluarga berkecukupan, tapi Jena masih aja ngeluh soal uang jajan. Itu karena kedua orangtuanya emang membatasi uang jajan Jena dan Juna. Meski kadang Juna diberi lebih karena harus ikut les, tetep aja Jena iri. Heri, sang papa sebenarnya udah ngasih tawaran ke Jena buat ikut les juga bareng Juna. Tapi emang pada dasarnya Jena malesan, nggak mau mutekin otaknya dengan belajar, ya jangan salahin sang papa yang ngasih uang lebih ke Juna yang notabenanya anak kebanggaan sekaligus cerdas bagi Heri.

Jena memasuki area butik sang mama yang padat sama pelanggan. Sesekali Jena menyunggingkan senyumnya pada karyawan dan para pelanggan butik mamanya itu.

“Eh mbak Jena mampir ke sini? Nggak pulang ke rumah dulu?” sahut mbak Dita karyawan sekaligus asisten pribadinya Santhi.

Jena senyum tipis, “nggak mbak, ini Jena cuma mau main aja. Sekaligus bantu-bantu bentar. Kayaknya lagi rame nih butik.”

“Iya mbak, emang sekarang lagi rame-ramenya. Bahkan karyawan kita yang lumayan banyak aja masih kewalahan melayani para pelanggan.”

Mbak Dita emang orangnya ramah. Selain itu juga dia sangat jujur dan kompeten dalam bekerja. Maka dari itu Santhi mengangkat mbak Dita jadi asisten pribadinya.

Jena menaruh ranselnya di loker tempat para karwayan menaruh barangnya. Sebelum kembali ke depan, Jena sempat melirik ruangan Santhi yang tertutup dengan pintu kaca. Dari kejauhan Jena dapat melihat sang mama lagi sibuk berkutat dengan pekerjaanya sampai-sampai muka wanita yang hampir berkepala empat itu terlihat begitu letih.

Jena jadi menatap mamanya dengan sendu. Apa sepenting itukah pekerjaannya sampai-sampai lupa memberi perhatian ke Jena? Bahkan mamanya itu menghabiskan waktunya dengan pekerjaan meski lelah sudah tercetak di wajahnya.

Jena mengembuskan napasnya kasar. Lalu kembali melangkah menuju ke depan. Memikirkan nasib malangnya memang nggak ada ujungnya, Jena capek berharap. Mungkin ini udah menjadi jalan hidupnya. Jena berjanji pada dirinya suatu hari nanti jika dia sudah berkeluarga, Jena akan selalu menomorsatukan keluarganya. Sebab Jena tahu persis gimana sakitnya nggak bisa dapat perhatian dari kedua orangtua yang jelas-jelas masih utuh. Maka dari itu Jena nggak ingin anak-anaknya nanti merasakan apa yang dia rasakan saat ini.

JENAKA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang