Baca aja dulu, soal Vomment piker keri ;v kalo suka silahkan lanjutkan kalo nggak suka silahkan tinggalkan. Hidup jangan dibuat susah hehe ;)
#LS ke-2
Dewa tidak pernah menyangka dia akan berurusan dengan Jena, cewek urakan yang gemar melanggar pera...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
=====
Jena sudah nggak ada mood buat pulang. Dia muak jika harus ketemu Juna. Emang di sini Juna nggak salah apa-apa. Kedua orangtuanya aja yang terlalu membandingkan dirinya dengan Juna. Selama ini juga Jena nggak pernah nyalahin Juna atas ketidaksukaanya kedua orangtuanya terhadap Jena. Jena hanya benci aja sama takdir yang harus membuat pelik hidupnya. Kenapa Jena harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang arogant, dan selalu menuntut kesempurnaan? Jena nggak minta dilahirin kalo harus seperti ini jalan hidupnya.
Rintik hujan mulai turun. Dan Jena tidak menghiraukannya karena masih sibuk dengan tangisnya. Terserah kalo ada yang mau lihat Jena lagi nangis di jalanan umum. Jena nggak peduli. Toh juga sekarang keadaan lagi sepi karena langit dipekati oleh mendung.
Jena yang masih setia duduk di halte itu, dibuat terkejut oleh deruan suara motor yang berhenti tepat di depan halte tempat Jena berteduh. Dari balik matanya yang sembab karena air mata, samar-samar Jena melihat sosok yang akhir-akhir ini selalu hinggap di hatinya.
Ya, Dewa kini tengah berada di depannya dengan posisi masih menunggangi mogenya. Dewa turun dari motornya lalu berjalan mendekati Jena yang lagi menunduk. Jelas aja Dewa dibuat heran dengan apa yang terjadi pada Jena. Cewek itu menangis di area sepi apalagi di tengah hujan yang mulai deras.
Dewa dengan setelan jas hujannya itu duduk bersisian dengan Jena. Masih enggan memandang Jena dengan sorot heran.
Sementara itu, mati-matian Jena menahan tangisnya agar tidak keluar lagi. Dia juga nundukin kepalanya biar muka sembabnya nggak bisa dilihat Dewa. Jujur, Jena malu bila harus kegeb nangis di depan cowok itu.
“Kenapa nggak pulang?” Dewa emang pemikir panjang sebelum pada akhirnya pertanyaan itu yang dilontarkannya buat Jena. Dewa nggak mau gegabah dengan cara menanyakan apa yang terjadi dengan Jena. Takutnya Dewa sok ikut campur dalam masalah pribadi cewek itu.
Jena cuma menggeleng. Masih enggan ngangkat kepalanya. Dia malu bener-bener malu. Jena takut kalo Dewa nganggep dia cewek yang lemah.
“Gue anterin, di mana rumah lo?”
Jujur, ini pertama kalinya dalam sejarah Dewa dengan sukarela menawari Jena buat dianterin pulang. Dan Jena, tentunya dia sangat bahagia. Tapi mengingat tujuan cowok itu mengantarkan dirinya buat pulang. Yang otomatis mengharuskan Jena buat ketemu sama Juna, Jena jadi mundung. Pasalnya Jena bener-bener lagi nggak pengen ketemu sama Juna. Mengingat betapa kejamnya sang mama membandingkan dirinya dengan kakak kembarnya itu di hadapan banyak orang. Jena jadi pengen nangis kalo mengingatnya. Meski Juna sendiri nggak ada salah padanya.